Andi Irawan, Peminat Telaah Ekonomi Politik Nasional
Garut News, ( Sabtu, 09/11).
Maraknya para penyelenggara negara menjadi tersangka dan terpidana kasus korupsi, baik di ranah eksekutif (pemerintah pusat dan daerah), legislatif (DPR RI dan DPRD), maupun yudikatif (pengadilan, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan kepolisian), bahkan terakhir di Mahkamah Konstitusi, adalah indikasi kuat masuknya manusia-manusia transaksional ke dalam lembaga-lembaga penting negara.
Yang kita maksudkan sebagai manusia transaksional adalah sosok yang menjadikan keuntungan materi (profit) dan kepentingan pribadi (self-interest) sebagai tujuan utama pengambilan keputusannya.
Kita tidak menyalahkan sosok manusia transaksional, hanya karakter manusia transaksional ini tidak kompatibel dengan kelembagaan yang bernama negara.
Manusia seperti ini hanya cocok untuk kelembagaan yang bernama pasar.
Adam Smith meniscayakan kepentingan pribadi (self-interest) dan berorientasi untung (profit oriented) sebagai mesin penggerak ekonomi pasar.
Dalam bukunya, Wealth of Nation, ia berkata,
“Kita mendapatkan makan malam bukan karena kemurahan hati tukang daging, pembuat bir, atau pembuat roti, melainkan dari penghargaan mereka kepada kepentingan mereka sendiri. Bukan karena kemanusiaan mereka, melainkan karena cinta mereka pada dirinya sendiri. Setiap individu (yang) menggunakan kapital, dan tenaga kerja, tidak bermaksud untuk memperjuangkan kepentingan publik dan tidak tahu seberapa besar ia memperjuangkannya. Dia dibimbing oleh tangan yang tak terlihat untuk mempromosikan tujuan yang sebenarnya bukan dari kehendaknya. Dengan mengejar kepentingan sendiri, dia secara tak sengaja mempromosikan kepentingan publik.”
Pasar memang punya fungsi publik, tetapi terbatas, yakni menyediakan kebutuhan hidup manusia berupa barang, jasa, dan sumber pendapatan manusia.
Merujuk pada pandangan Adam Smith di atas, karakter manusia transaksional kompatibel dengan kelembagaan pasar, bahkan menjadi penting sebagai stimulan kehidupan ekonomi manusia.
Tetapi negara berbeda dengan pasar. Negara hadir memberikan nilai altruistik yang tidak bisa diberikan pasar.
Ketika pasar bisa menyediakan barang dan jasa, negara hadir agar barang dan jasa itu bisa digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan semua orang.
Ketika pasar hadir untuk memberikan profit dan kepuasan konsumsi, negara memberikan rangka agar itu semua menghasilkan keadilan.
Bahkan negara diposisikan sebagai kelembagaan kehidupan manusia yang ditugasi menghadirkan kedamaian dan keamanan, yang semua itu tidak bisa dihadirkan oleh mekanisme pasar.
Karena itu, mengapa kemudian karakter manusia transaksional tidak cocok untuk mengelola negara?
Karena negara hadir untuk kepentingan bersama (collective interest) dan keuntungan bersama (public benefit), sedangkan manusia transaksional adalah manusia seperti yang dikemukakan Adam Smith sebagai manusia bertujuan self-interest dan mendapatkan keuntungan pribadi dari semua perilakunya.
Ketika manusia transaksional masuk menjadi pelaku penting negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), maka mereka akan mengubah karakter negara menjadi pasar.
Dan ini menjadi sangat berbahaya serta eksploitatif. Mengapa?
Pertama, ketika negara diubah menjadi pasar, yang terjadi adalah komodifikasi aturan dan perundangan, di mana perundang-undangan, aturan, regulasi, dan wewenang menjadi sesuatu yang diperjualbelikan.
Dan yang bisa mendapatkan tentulah yang mampu membayar. Artinya, mereka yang tidak mampu membayar akan tertindas dan keadilan akan hilang.
Kedua, kekuasaan (power) adalah sesuatu yang niscaya dalam negara, tetapi tidak boleh ada dalam pasar.
Pasar yang masuk kekuasaan di dalamnya adalah pasar yang eksploitatif. Pasar monopoli (penjual tunggal), oligopoli (segelintir penjual), monopsoni (pembeli tunggal), dan oligopsoni (segelintir pembeli), semuanya dikategorikan sebagai pasar di mana terdapat kekuasaan di dalamnya.
Ketika masuk kekuasaan di dalam pasar, akan ada yang dieskpolitasi dan dizalimi. Pada pasar monopoli dan oligopoli, konsumenlah yang dieksploitasi. Sedangkan pada pasar monopsoni dan oligopsoni, produsenlah yang dizalimi.
Pemberian kekuasaan kepada penyelenggara negara untuk kepentingan semua orang diniscayakan oleh negara.
Anda bayangkan bagaimana ketika keputusan lembaga yang mengikat, tidak bisa diganggu gugat dan tidak bisa diajukan banding seperti yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, ternyata tidak ditujukan untuk kepentingan publik, melainkan ditransaksikan kepada yang mampu membayar.
Artinya, karakter negara pada lembaga negara tersebut diubah menjadi karakter pasar oleh manusia transaksional yang menjadi penyelenggara negara. Dampaknya pasti menimbulkan kezaliman, karena pasar aturan dan regulasi pasti bersifat monopoli.
Mengoreksi perilaku korup dari para pejabat negara bisa dimulai dari dua sisi.
Pertama, sisi suplai, yakni partai politik sebagai pemasok utama manusia yang akan menjadi pengelola negara. Partai politik harus mampu menjauhi perilaku transaksional dalam perekrutan sumber daya manusia tersebut.
Masyarakat madani harus menjadi pengontrol, bahkan penekan, agar parpol dan politikus transparan dan bisa diaudit terhadap alur keluar-masuk dana yang mereka terima, baik dalam kapasitas organisasi (parpol) maupun sebagai personal (politikus).
Kedua, dari sisi kebutuhan (demand), harus ada pendidikan politik bagi rakyat.
Hal ini menjadi sangat penting karena kebutuhan (demand) menuntut pasokan. Rakyat yang altruistik tentu tidak ingin dipimpin oleh orang yang transaksional.
Hadirnya manusia transaksional di lembaga-lembaga negara tidak lepas dari banyaknya pemberi suara (voter) yang juga bersifat sangat transaksional.
Pendidikan politik tentang perilaku altruistik, seperti mengutamakan kepentingan bersama dibanding kepentingan pribadi dan golongan, kejujuran, kesederhanaan, tidak serakah, suka berbagi dan peduli dengan kepentingan orang lain, adalah nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam diri pribadi, keluarga, dan masyarakat oleh semua orang yang menginginkan hilangnya perilaku korupsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. *
Sumber : Kolom/ Artikel : Tempo.co