SUNAJI ZAMRONI
Direktur Eksekutif Institute for Research and Empowerment Yogyakarta
Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Jum’at, 16/12 – 2016 ).
Banjir teknologi informasi tak bisa lagi terben-dung. Kanal sosial-budaya yang rapat di desa kini jebol juga diterjangnya. Undang-Undang Desa pun kian tertantang untuk memitigasi dampak peranti canggih ini. Berteknologi akhirnya menjadi keniscayaan.
Dalam hidup berdesa pun tak lagi bisa dihindari. Tekad pemerintah Jokowi-Kalla memasang jaringan Internet sampai penjuru desa relevan ditagih. Upaya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi mewujudkan target 5.000 desa online pada 2019 pun layak diawasi.
Terpilihnya Desa Dermaji di Kecamatan Lumbir, Banyumas, Jawa Tengah, menjadi Desa Unggulan Tempo 2016 mengabarkan adanya geliat desa yang maju berteknologi informasi. Desa-desa lainnya pun telah banyak yang berteknologi dalam membangun desa.
Bahkan program e-village budgeting yang dijalankan pemerintah Kabupaten Banyuwangi sejak 2015 menjadikan 189 desa di ujung timur Pulau Jawa ini akrab berteknologi dalam penganggaran desa. Warga desa bisa memelototi besaran uang masuk ke desa, belanja desa, maupun di-namika harian desa setiap saat dan dari mana pun.
Kalau takut dilambung ombak, jangan berumah di tepi pantai. Kemajuan dan penetrasi teknologi informasi ke desa memang keharusan zaman. Negara telah membuka akses sambungan Internet meluas ke desa, demikian pula pelaku bisnis telepon pintar.
Situasi ini sesuai dengan mandat Pasal 86 Undang-Undang Desa yang menghendaki dibukanya akses informasi pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan.
Berpijak dari apa yang telah ditempuh oleh Desa Dermaji, desa-desa di Banyuwangi, dan desa-desa lainnya, penting sekiranya memetik pelajaran dan tantangan.
Pertama, berteknologi informasi bisa dilakukan di desa. Sajian data dan informasi melalui situs desa bisa meman-cing kepedulian dan ke-terlibatan warga, juga rasa kepemilikan terhadap desa mereka. Di mana pun dan kapan pun, warga bisa menengok apa saja yang terjadi di desanya.
Mereka bisa urun gagasan, ikut dalam jaringan pertemanan, dan menyumbang uang untuk pembangunan desa. Desa pun bisa menginformasikan data tentang aset dan potensi yang dikandungnya kepada siapa pun, tapi pastinya dengan mekanisme pengamanan tertentu agar desa tidak terintai mata jahat selama 24 jam.
Praktek berteknologi model Desa Dermaji memberikan pelajaran berharga bahwa kemauan adalah yang terpenting, bukan kemampuan.
Kedua, desa cerdas dan interaktif. Memang, desa-desa yang memiliki situs terlihat maju dan dinamis. Tapi penting dilacak sejauh mana laman desa tersebut merupakan jelmaan lain dari “deliberative forum” yang telah terkubur oleh rezim politik negara masa lalu.
Undang-Undang Desa sesungguhnya mendorong tumbuhnya warga negara aktif yang berkapasitas individual dan organisasi untuk berpartisipasi dalam aksi kolektif desa. Dengan kata lain, teknologi informasi harus ditransformasi menjadi metode mutakhir bagi entitas desa untuk menghidupkan kembali tradisi berdesa yang sarat dengan prinsip dan nilai-nilai demokrasi.
Adanya situs desa seharusnya mempercepat dan memudahkan musyawarah antarwarga maupun warga dengan pemangku kebijakan desa. Teknologi informasi harus bisa menerobos sekat laten yang justru selama ini mendominasi alam bertindak orang desa.
Sikap ewuh pakewuh (baca: enggan, inferior) dalam bermu-syawarah bisa digerus de-ngan interaksi aktif melalui laman desa.
Ketiga, desa berteknologi untuk berdemokrasi. Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Peribahasa ini mengingatkan bahwa desa-desa se-perti Desa Dermaji sebenarnya bisa menyelesaikan dua-tiga tantangan berdesa dengan sekali merengkuh teknologi informasi.
Apa tantangan berdesa itu? Sejumlah tradisi berdesa telah lama hilang, seperti warga yang selalu peduli desa, aksi kolektif warga desa, dan bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Teknologi informasi dalam bentuk laman desa, aplikasi dalam telepon pintar, dan bentuk lainnya bisa digunakan untuk membangun tradisi berdesa dan berdemokrasi.
Jika saat ini Desa Dermaji belum memperba-iki partisipasi warga dalam musyawarah desa serta musyawarah perencanaan dan pembangunan desa, aplikasi berbasis telepon pintar bisa dikembangkan lebih lanjut. Jika selama ini desa-desa berteknologi belum menyediakan la-yanan publik secara online, bisa dikembangkan pengurusan surat pengantar desa tanpa tatap muka.
Perantau di Jakarta, misalnya, tidak harus pulang kampung sekadar untuk mengurus surat pengantar desa guna keperluan kerja maupun izin tinggal sementara di Ibu Kota.
Akhirnya, cita-cita Undang-Undang Desa menjadikan desa kuat, maju, mandiri, dan demokratis bisa ditempuh dengan memanfaatkan teknologi informasi secara cerdik dan produktif. Banjir bandang teknologi informasi harus ditransformasikan secara produktif guna memindahkan nalar kekunoan ke alam pikir masa kini.
Tradisi berdesa yang dulu sarat dengan ke-tersediaan ruang pertemuan luas dan waktu yang lama kini bisa diringkas dalam laman desa maupun aplikasi desa. Namun, yang penting dicatat, saat maju berteknologi, jangan sampai melupakan tujuan.
*********
Tempo.co