• Putu Setia
Garut News ( Ahad, 23/02 – 2014 ).
Romo Imam sedang mengajari cucunya berhitung ketika saya datang.
“Dua kali dua hasilnya sama dengan dua ditambah dua, empat,” kata Romo sambil menepuk cucunya.
Romo mengerling saya, lalu berkata, “Tapi dua kali dua bisa jadi enam kalau Mahkamah Konstitusi memutuskan begitu.”
Anak kecil itu tampak bingung dan berlari ke arah ibunya.
Ia takut melihat tampang saya yang berjenggot.
“Romo mengajarkan hal yang salah,” saya nyeletuk.
Setelah kami duduk, barulah Romo menjawab: “Salah dan benar di negeri ini sekarang ditentukan oleh delapan hakim konstitusi. Apa pun yang mereka putuskan, itulah kebenaran yang mutlak, tak bisa dibantah. Mantan Ketua MK Mahmud Md. berkali-kali bilang, apa pun keputusan MK harus dihormati, diterima, final, dan tak bisa didebat.”
“Tapi itu hanya berkaitan dengan konstitusi, Romo, bukan masalah matematika,” potong saya.
Romo menjawab, “Siapa tahu ada yang memohon uji coba ke MK, dua kali dua harus enam, agar tidak bertentangan dengan Pasal 31 ayat 5 UUD 1945 hasil amendemen yang berbunyi: Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan seterusnya. Kalau hakim MK menganggap untuk memajukan ilmu pengetahuan harus ada revisi soal perkalian, kan harus dihormati.”
Saya tertawa. “Romo mengada-ada. Etika dari mana itu?”
Romo makin serius: “Apa sekarang hakim MK tak mengada-ada dan punya etika? Pemerintah capek membuat Perpu untuk menyelamatkan MK, DPR sibuk bersidang mengesahkan Perpu menjadi UU. Ini melibatkan banyak orang, kok delapan orang hakim itu bisa membatalkan? Etikanya, tentu, janganlah mengadili diri sendiri untuk menguntungkan kedudukan sendiri.”
“Mungkin maksud hakim MK agar undang-undang tentang MK itu yang direvisi,” saya memotong.
Romo menjawab, “Kalau revisi undang-undang itu dibuat, lalu ada lagi yang mengajukan uji coba, ditolak lagi oleh MK jika dianggap merugikan dirinya, bisa pula kan?”
Saya kehabisan argumentasi.
Romo meneruskan, “Satu-satunya cara memperbaiki MK hanya mengamendemen lagi UUD 1945, menambah ayat lebih rinci di pasal 24C yang mengatur hakim konstitusi. Tapi perlu waktu panjang, dan selama rentang waktu itu, hakim MK tak bisa diutak-atik dan, kalau ada yang pensiun, syarat penggantinya memakai undang-undang lama. Lihat saja sekarang, politikus ramai-ramai mencalonkan diri. Padahal politikus itu bukan negarawan, tapi itu sah karena belum diatur konstitusi. MK akan terus dikuasai orang-orang partai.”
“Kok orang partai nafsu betul jadi hakim MK?” tanya saya polos.
Romo yang kini tertawa: “Jelas dong, sengketa pemilu dan pilkada akan banyak, dan hakim dari partai pasti membela partainya. Kalaupun motifnya bukan itu, ya, sabetan dari sengketa itu, contohnya ya Akil.”
“Romo berprasangka,” kata saya.
“Saya pakai akal sehat,” jawab Romo cepat.
“Sidang pleno untuk vonis di MK itu dihadiri seluruh hakim. Apakah di era Akil Mochtar jadi Ketua MK, ke delapan hakim lainnya cuma manggut-manggut saja dengan keputusan Akil yang dibayangi suap miliaran? Apakah delapan hakim lainnya dihipnotis oleh Akil atau dihipnotis oleh sesuatu?”
Saya tak bisa menjawab.
Romo berkata datar: “Pasal 24C ayat 5 UUD 1945 menyebutkan, hakim MK haruslah negarawan. Mestinya negarawan itu bebas dari kepentingan partai, bebas dari godaan harta benda, bebas dari perbedaan suku agama, dan sebagainya. Negarawan kok masih terima suap, silau dengan kemewahan. Dan negarawan kok masih sibuk mempertahankan jabatannya.”
Saya hanya melongo.
Tapi saya tetap cinta Indonesia, meski sebuah negeri dengan mahkamah yang ngeri-ngeri sedap.
*****
Tempo.co