Asvi Warman Adam,
Selama 30 Tahun Bekerja di LIPI
Garut News ( Sabtu, 18/01 – 2014 ).
Beberapa ilmuwan terkemuka Indonesia, seperti CPF Luhulima (83 tahun), Thee Kian Wie (79), dan Taufik Abdullah (78), meski sudah pensiun, saban hari masih berkantor di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta.
Tapi, sejak Februari 2014, gedung Widya Graha LIPI yang sudah berusia 30 tahun itu akan dikosongkan untuk direnovasi.
Sekitar 400 peneliti bidang politik, ekonomi, budaya, kependudukan, dan kewilayahan, beserta staf administrasi, akan diungsikan ke Bogor.
Kondisi Widya Graha yang terletak di kawasan elite dekat perumahan menteri itu memang sudah tidak layak.
Plafon rusak, beberapa toilet tidak berfungsi, listrik sering mati, kadang-kadang AC sentral tidak bisa dihidupkan.
Seorang profesor dari Malaysia sempat berkomentar, LIPI ini penelitinya “bintang lima”, tapi kantornya “kaki lima”.
Gedung Herbarium Bogor yang dulu digunakan sebagai tempat pengawetan dan pengarsipan tanaman sudah kosong, kecuali lantai satu yang (pernah) menjadi Museum Etnobotani.
Tiga lantai gedung di atas museum itu akan disekat dan dijadikan tempat penampungan untuk ratusan peneliti dan administrasi yang bekerja setiap hari dari pukul 7.30-16.00.
Jelas sifatnya sangat sementara, karena belum ada listrik, air, telepon, serta jaringan Internet.
AC lama yang ada di Jalan Gatot Subroto Jakarta akan digotong ke Bogor dan dipasang di sana kelak.
Biaya pindah dan penghapusan barang tentu merupakan proyek tersendiri.
Tapi, persoalannya tentu bukan sekadar memindahkan barang.
Kepindahan menjelang Pemilu 2014 ini dapat menimbulkan tanda tanya.
Beberapa orang peneliti, seperti Ikrar Nusa Bhakti, Syamsuddin Haris, Indria Samego, Siti Zuhro, Jaleswari Pramowardhani, Syarif Hidayat, pakar Papua Muridan S. Widjojo, dan banyak lagi lainnya, adalah narasumber yang sering diundang di berbagai stasiun televisi.
Sengaja dipindahkan ke Bogor agar mereka tidak bisa menyampaikan kritik?
Ada pula rumor bahwa gedung Widya Graha LIPI yang terletak di wilayah segitiga emas bisnis itu akan di-ruilslag oleh sebuah perusahaan swasta, sehingga para peneliti akan berkantor di Bogor untuk seterusnya.
Rendahnya kepedulian terhadap penelitian, termasuk kebijakan penganggarannya yang kurang dari 1 persen APBN, tidak lain karena kurang pemahaman tentang pentingnya penelitian.
Ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi pendorong kemajuan bangsa.
Begitu ujar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Bandung pada akhir Agustus 2012.
Tapi, ucapan itu sekadar retorika belaka bila tidak didukung kebijakan dan realisasinya.
Masalah besar yang dihadapi sekarang dalam persoalan energi tentu tidak akan terjadi bila ada penelitian yang komprehensif tentang masalah tersebut, beserta langkah-langkah penyelesaiannya secara menyeluruh.
Ketika LIPI didirikan pada 1967, lokakarya internasional yang pertama diadakan mengenai ketahanan pangan.
Tahun berikutnya dibahas tentang sumber daya alam Indonesia, yang diikuti dengan teknologi yang cocok untuk menggarapnya.
Sayangnya, penelitian yang dilakukan di Tanah Air umumnya bukanlah penelitian jangka panjang dan berkesinambungan.
Akar permasalahan ini, menurut saya, bisa ditelusuri pada Undang-Undang Dasar 1945 tentang pendidikan dan kebudayaan, yakni Pasal 31 ayat 5 yang berbunyi: “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi…” .
Untuk menjalankan tugas memajukan iptek tersebut, tentu diperlukan dana yang besar.
Oleh sebab itu, Pasal 31 ayat 4 berbunyi: “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta APBD…”.
Untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi tentu tidak cukup melalui pendidikan, tapi juga harus dengan penelitian.
Pendidikan dan penelitian adalah dua unsur yang bisa dibedakan, tapi sebetulnya tidak bisa dipisahkan dan saling mendukung.
Karena itu, seyogianya UUD 1945 Pasal 31 ayat 4 diamendemen menjadi “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan dan penelitian sekurang-kurangnya dua puluh persen dari APBN serta APBD…” .
Walaupun anggaran penelitian secara nasional masih minim, Presiden Yudhoyono sudah memperlihatkan kepedulian terhadap kesejahteraan peneliti.
Sepanjang Orde Baru, kenaikan tunjangan peneliti hanya terjadi semasa B.J. Habibie menjadi Menristek pada 1983.
Sampai November 2012, gaji dan tunjangan seorang profesor riset, golongan IV E, yang sudah berdinas 30 tahun sekitar Rp 5,5 juta.
Pada 16 November 2012, saya menulis artikel Menagih Janji Presiden pada sebuah sebuah koran nasional.
Keesokan harinya, Presiden menandatangani kenaikan tunjangan penelitian melebihi yang diusulkan, sehingga pendapatan resmi seorang profesor riset naik menjadi sekitar Rp 10 juta dan bila ditambah dengan tunjangan kinerja menjadi Rp 16 juta.
Terjadi peningkatan pendapatan sebesar 300 persen semasa pemerintahan Presiden Yudhoyono.
Tentu Presiden Yudhoyono diharapkan juga peduli dengan pengungsian ratusan peneliti LIPI ke Bogor yang tidak terencana dengan cerdas ini.
Masih banyak kantor pemerintah yang berada di bawah penguasaan Sekretariat Negara yang bisa menjadi penampungan sementara, seperti kantor bekas LAN di Pejompongan atau gedung BPPT di Jalan Thamrin Jakarta.
***** Kolom/artikel Tempo.co