RABU, 12 JULI 2017 | 00:59 WIB
Haryo Kuncoro
Dosen Keuangan Negara FE Universitas Negeri Jakarta
Fotografer : John Doddy Hidayat
Pemerintah baru saja merampungkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2017. Kecuali produksi minyak dan gas, asumsi makro ekonomi lainnya mengalami perubahan yang substansial.
Di satu sisi, pemerintah realistis menyikapi berbagai perkembangan yang terjadi. Asumsi kurs, misalnya, yang semula Rp 13.300 per dolar AS diubah menjadi Rp 13.400 per dolar AS. Hal yang sama terjadi pada inflasi yang dilonggarkan dari 4 persen menjadi 4,3 persen.
Asumsi harga minyak mentah Indonesia di pasar internasional dipatok US$ 50 per barel, dari sebelumnya US$ 45. Dampak langsungnya adalah kenaikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas yang diperkirakan mencapai Rp 15 triliun.
Kenaikan penerimaan PNBP, sayangnya, belum mampu menutupi selisih realisasi dan target (shortfall) perpajakan. Penerimaan perpajakan diprediksi hanya tumbuh 13 persen sepanjang 2017, dengan selisih minus Rp 50 triliun dari target awal Rp 1.499 triliun.
Di sisi lain, sinyal optimisme dipancarkan pemerintah melalui RAPBN-P 2017. Di tengah menyusutnya penerimaan negara, pagu belanja dipatok naik menjadi Rp 2.111 triliun, dari pagu mula-mula Rp 2.080 triliun.
Secara teoretis, belanja pemerintah memiliki dampak berganda bagi aktivitas ekonomi. Besaran angka pengganda belanja rutin lebih kecil daripada belanja modal. Dengan logika ini, pemerintah melakukan efisiensi (alih-alih pemotongan) sehingga menghemat Rp 16 triliun untuk dialihkan ke belanja infrastruktur guna memancing investasi swasta.
Dalam pandangan pemerintah, belanja negara juga bersifat komplementer dengan pengeluaran konsumsi. Dengan menaikkan 33 persen belanja subsidi energi menjadi Rp 103,1 triliun, pemerintah hendak menjaga daya beli sehingga mengerek belanja konsumsi rumah tangga.
Faktor eksternal pun turut membangkitkan optimisme pemerintah. Predikat layak investasi dari S&P dan perbaikan harga sejumlah komoditas ekspor unggulan membuat pemerintah mantap menaikkan target pertumbuhan PDB menjadi 5,2 persen untuk mengakhiri perlambatan ekonomi nasional selama tiga tahun terakhir.
Hanya, optimisme pemerintah harus dibayar dengan pelebaran rasio defisit menjadi 2,92 persen atau 2,67 persen jika ada penghematan alamiah. Konsekuensinya, ada kebutuhan utang Rp 433-467 triliun dengan Rp 33-67 triliun di antaranya utang baru.
Mengedarkan surat utang negara (SUN) di dalam negeri potensial meningkatkan tensi perebutan likuiditas antara sektor publik dan sektor privat sehingga menghambat realisasi target suku bunga kredit single digit.
Menerbitkan SUN ke luar negeri memberikan risiko tambahan. Sensitivitas terhadap imbal hasil aset finansial lain di luar negeri cukup kuat untuk mendorong kembali kaburnya dana asing ke luar negeri.
Lagi pula, akumulasi stok utang negara sudah besar. Imbasnya, tren rasio utang pemerintah terus meningkat. Pada 2014, misalnya, rasio utang publik mencapai 24,7 persen, merangkak ke level 27 persen pada 2015 dan 28 persen pada kuartal pertama tahun ini. Rasio utang tersebut merupakan yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir.
Bagi pemerintah, kenyataan di atas memunculkan masalah tersendiri. Di satu sisi, pemerintah harus memasang suku bunga tinggi agar investor bersedia memegang SUN. Di sisi lain, tingginya suku bunga SUN berakibat pada beban pembayaran saat jatuh tempo nanti.
Pembayaran bunga utang domestik dan luar negeri memang sudah dianggarkan dalam APBN. Total penerimaan dikurangi belanja di luar pembayaran bunga utang didapatkan keseimbangan primer. Demi kesinambungan fiskal, keseimbangan primer wajib positif.
Keseimbangan primer bisa surplus asalkan defisit hanya 1,1 persen dari PDB. Konsekuensinya, pelebaran defisit hingga 2,92 persen dikhawatirkan 1,82 persen sisanya dialokasikan untuk membayar bunga utang.
Kecenderungan “gali lubang tutup lubang” semacam ini patut diwaspadai. Keseimbangan primer yang negatif sejak 2012 mendorong hasrat berutang menjadi semakin besar. Alhasil, dengan risiko default yang tinggi dan gradasi rasio utang yang semakin tinggi, Indonesia akan terjebak ke dalam jerat utang.
Persoalan mendasarnya berkutat pada penerimaan yang tidak cukup menopang belanja, defisit ditutup utang, dan keterbatasan kemampuan belanja modal menghendaki keterlibatan investor. Pada akhirnya, risiko default menjadi disinsentif investor untuk ikut membiayai infrastruktur dan proyek strategis.
Berkaca dari pengalaman sejauh ini, konsistensi dalam menjalankan disiplin kebijakan fiskal mutlak harus dikedepankan. Pemerintah perlu memastikan proyek yang dibiayai SUN harus mampu menstimulasi perekonomian. Output-nya adalah peningkatan kapasitas ekonomi guna menciptakan penerimaan.
Alhasil, postur APBN yang ekspansif dengan pembengkakan defisit sangat dilematis. Tanpa kemampuan mengamankan keseimbangan primer yang dipicu dari kegiatan ekonomi domestik, APBN senantiasa berada dalam “lingkaran setan” yang tak berujung pangkal.
***********
Kolom Tempo.co