Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Kamis, 16/03 – 2017 ).
Pembubaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo selayaknya tak hanya bermotif efisiensi birokrasi. Pembubaran lembaga nonstruktural yang kewenangannya kemudian dialihkan kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat itu semestinya membuat penanganan bencana lumpur Lapindo lebih efektif dan efisien.
Presiden Joko Widodo membubarkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo melalui Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2017, yang ditandatangani pada 2 Maret lalu. Selanjutnya, kewenangan lembaga itu dialihkan ke Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo yang dipimpin pejabat setingkat eselon II. Masa transisi berlangsung mulai 6 Maret 2017 selama setahun sejak peraturan presiden itu diundang-undangkan.
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo dibentuk pada 2007 sebagai respons pemerintah untuk menanggulangi semburan lumpur Lapindo. Tugas utama lembaga itu sesuai dengan Perpres No. 14 Tahun 2007 adalah menangani peraturan pembayaran ganti rugi atas tanah dan bangunan warga korban lumpur Lapindo secara bertahap.
Hanya, dalam prakteknya, perpres itu kerap tak berjalan sesuai dengan harapan. Banyak penduduk yang telah menerima uang muka tak dapat menggunakannya untuk menyewa rumah karena harga sewanya kian mahal. Akibatnya, nasib mereka terkatung-katung.
Lembaga baru, Pusat Pengendalian Lumpur Sidoarjo, harus bisa menjamin proses ganti rugi berjalan cepat dan efektif. Sebab, 10 tahun lebih sejak lumpur Lapindo merendam permukiman penduduk, proses ganti rugi yang ditangani PT Lapindo belum juga rampung. Pemerintah sudah memberikan dana talangan untuk para korban di zona peta area terkena dampak Lapindo sebesar Rp 781 miliar, yang semestinya keluar dari kantong Lapindo Brantas Inc.
Selain urusan ganti rugi, dalam masa transisi selama setahun setelah pembubaran lembaga itu harus segera dicari solusi. Selama masa transisi itu harus segera dibuat aturan setingkat peraturan menteri yang memerintahkan eks Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo melakukan penanganan sementara.
Pekerjaan yang masih menjadi tanggungan Badan, seperti penanganan semburan lumpur aktif, pengaliran lumpur ke Kali Porong, dan pemeliharaan tanggul, tak boleh terabaikan. Pekerjaan teknis itu sangat diperlukan untuk mencegah bencana, terutama pada musim hujan.
Jangan sampai selama masa transisi itu terjadi saling lempar tanggung jawab antara lembaga lama dan badan baru. Hal ini akan mengakibatkan penanganan masalah terabaikan dan nasib korban terkatung-katung.
Setelah hampir 11 tahun menyembur, tak ada yang tahu kapan semprotan lumpur Lapindo akan berhenti. Kerugian akibat bencana ini luar biasa: menurut Badan Pemeriksa Keuangan, mencapai Rp 32,9 triliun. Angka ini belum termasuk dampak hilangnya daerah hunian dan tercerabutnya masyarakat dari tanah leluhurnya. Kerugian sosial itu tak terukur dengan uang.
Kehadiran lembaga baru diharapkan bisa menjamin penanggulangan lumpur Lapindo akan lebih efektif, efisien, dan mengutamakan nasib para korban.
**********
Tempo.co