Garut News ( Selasa, 31/12 ).
Meski seorang perempuan bekerja di luar rumah, lapangan kerja perempuan utama rumah tangganya (HR Bukhari-Muslim), apabila perempuan bekerja kudu sesuai fitrahnya sekaligus merasa aman, dan nyaman.
Demikian mengemuka pada Pelatihan Mubalighot Aisyiyah Tingkat Daerah Garut, bertema “Meningkatkan Peran Serta Mubalighot ‘Aisyiyah Dalam Gerakan Praksis” di pondok pesantren Darul Arqam Cimaragas.
“Perempuanpun bisa berpolitik, lantaran kudu mempunyai wakil bidang politik menyampaikan, dan memerjuangkan hak-hak perempuan sebagai warga Negara”, ungkap Ir Hj. Nanny Sumarni anggota Majelis Kesehatan PDA Garut.
Jika perempuan berbisnis seperti Siti Khadijah, importir dan eksportir wanita sukses di zamannya, saat ini terbuka peluang perempuan berbisnis melalui jejaring sosial dan website, katanya.
Kata dia, perempuan sebagai kepala Negara, selain berkewajiban memelihara kehidupan (mengandung, melahirkan dan mendidik putra putrinya), apabila memelihara Negara bebannya lebih berat dibanding seorang laki-laki.
Itulah kehebatan seorang perempuan, lebih mampu mengendalikan pikiran sebab respon otaknya lebih lemah di banding laki-laki sehingga lebih terkontrol, dan lebih mampu memanfaatkan fungsi otak lemahnya tersebut.
Selain itu khitan kaum perempuan dimaksudkan agar tak berlebih libido, bisa merusak kehidupannya, kaum liberal beranggapan khitan perempuan mudharat, dan melanggar HAM anak perempuan.
Sedangkan kenyamanan rumah tangga, suami tetap wajib menafkahi keluarga, dalam QS 4:34, perempuan titipan/amanah Allahpada seorang suami (HR Nasai).
Sementara Hj Ai Rustini, S. Ag pengajar di pesantren Darul Arqam katakan kekhawatiran menurunnya respon, dan animo masyarakat daerah, dan kota berbeda terhadap pengajian.
Di daerah jauh dari kota, ibu-ibu muda membawa anak ke pengajian sambil mengasuh dan tetap mengawasinya, sedangkan di kota para ibu mulai tergerus pergaulan melalui peralatan elektronik, lebih asyik bermedia sosial sangat mudah diakses, bebernya.
Media canggih saat ini jika tak digunakan dengan ilmu cukup, membawa penggunanya sengsara-, ungkap Ai Rustini.
“Karena itu saatnya mengembalikan kegiatan pengajian di berbagai daerah, di ranting dihidupkan kembali pengajian jangan sampai terbentur ketidakadaan mubaligh, jangan hanya mengatakan tak bisa,” kata Ai Ketua Majelis Tabligh PDA Garut itu.
Kudu mau belajar, meningkatkan kualitas diri menghafal ayat-ayat Al Quran dan hadist, sebab jika tak membekali diri, bisa keteteran ketika menyampaikan ceramah, lanjutnya.
Kata dia pula, kapan mau mulai belajar menjadi nara sumber/pembicara/penceramah jika tak mulai dari sekarang, banyak para pemuka agama/masyarakat, tua tetapi masih mau belajar lantaran tak ingin ketinggalan pengetahuan.
Beranikan diri bisa tampil menjadi mubaligh, jangan sampai pengajian batal hanya tak datang mubaligh terjadwal, demikian Ai Rustini, menambahkan.
******* SB, JDH.