SELASA, 11 JULI 2017 | 00:24 WIB
Fotografer : John Doddy Hidayat
Keputusan pemerintah menambah defisit pada RAPBN Perubahan 2017 memang tidak salah. Langkah itu boleh saja sepanjang tidak melewati batas 3 persen. Meski demikian, ruang defisit yang direncanakan hingga 2,92 persen itu sudah hampir menyentuh batas maksimal sesuai dengan Undang-Undang Keuangan Negara. Ini artinya pemerintah sebetulnya kurang kredibel dalam mengatur anggaran.
Memperbesar utang lewat penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) harus jelas dan transparan pemanfaatannya. Dana utang jangan habis untuk kebutuhan konsumtif. Tanggung jawab pemerintah adalah memastikan utang harus benar-benar mendorong kegiatan produktif.
Tahun ini, pemerintah mengalokasikan utang hingga Rp 67 triliun. Bila anggaran belanja kementerian dan lembaga terserap semua, defisit akan mencapai 2,92 persen dari semula sebesar 2,41 persen pada APBN 2017. Jika penyerapan 96 persen seperti pada tahun-tahun sebelumnya, defisit diprediksi cuma 2,67 persen. Angka 2,92 persen mendekati “lampu merah” batas defisit anggaran.
Langkah membuka keran utang memang tidak dilarang, asalkan dengan perhitungan cermat. Salah satu hal yang mesti dikalkulasi, misalnya, pemanfaatan utang dan sejauh mana ini berdampak pada anggaran 2018 mendatang. Sebab, pemicu defisit anggaran sudah nyata, yaitu bertambahnya proyek pemerintah yang harus diprioritaskan pembiayaannya pada akhir tahun ini.
Peningkatan defisit memang tak terelakkan, menyusul penerimaan pajak yang mungkin meleset. Target penerimaan semula Rp 1.498,9 triliun, lalu dipangkas menjadi Rp 1.450,93 triliun. Ini karena, setelah implementasi pengampunan pajak berakhir, pemerintah nyaris tidak punya andalan sektor pajak seperti tahun lalu.
Proyek prioritas yang mesti dituntaskan lewat biaya APBN, di antaranya percepatan sertifikasi tanah seluas 5 juta hektare, persiapan pilkada, pelaksanaan Asian Games, pengembalian pinjaman Badan Layanan Umum Kelapa Sawit, dan pemenuhan tunjangan profesi guru.
Sebenarnya, pembiayaan program di atas tidak harus dari APBN. Salah satu caranya adalah pemerintah tetap bisa melibatkan swasta sebagai upaya menumbuhkan iklim usaha. Hal ini sekaligus membuka kesempatan masuknya investasi. Dengan cara itu, utang tak perlu diperbesar, apalagi di era Presiden Joko Widodo utang pemerintah sudah tergolong jumbo.
Saat ini utang pemerintah tercatat Rp 3.672 triliun. Perinciannya, status utang bersumber dari SBN hingga Mei lalu Rp 2.943,73 triliun (80,2 persen) dan pinjaman Rp 728,6 triliun (19,8 persen). Angka ini tertinggi sejak 2012. Jika tidak hati-hati, konsekuensi dari bertambahnya utang lewat SBN bisa runyam. Salah satunya, perbankan bisa kesulitan likuiditas karena industri ini akan berlomba menaikkan suku bunga.
Selain mempertajam pemanfaatan utang agar tepat sasaran, pemerintah harus terus menggalakkan penghematan. Efisiensi terutama menyasar ongkos perjalanan dinas, rapat, belanja iklan, hingga biaya pemeliharaan kantor. Tanpa langkah-langkah itu, kita akan kesulitan.
**********
Opini Tempo.co