Koruptor tanpa Perasaan (KTP) Elektronik

Koruptor tanpa Perasaan (KTP) Elektronik

796
0
SHARE

Red: Maman Sudiaman

Asma Nadia (Daan Yahya/Republika).
Asma Nadia
(Daan Yahya/Republika).

REPUBLIKA.CO.ID, Bayangkan, hanya dengan mengetik satu nomor identitas, semua data sudah tercakup. Bukan sekadar nama, alamat, dan tanggal lahir, tapi seluruh data termasuk pajak, kartu sehat, kartu pemilih, dan lainnya.
Dengan satu kartu itu, tidak perlu lagi dibuat kartu pemilih ketika pilkada atau pilpres, tidak perlu lagi ada kartu BPJS, pun kartu lainnya.

Jika setiap pembuatan kartu untuk—katakanlah—100 juta penduduk bisa makan biaya triliunan rupiah, maka satu kartu elektronik multi fungsi, bisa menghemat puluhan triliun setiap tahun.

Karena itu ide membuat KTP elektronik sangat masuk akal, sekalipun ketika diajukan menelan biaya hingga Rp 6,9 triliun. Besar, tapi untuk jangka panjang akan jauh menghemat dan lebih bermanfaat.
Akan tetapi, kadang kita lupa, ini Indonesia. Indonesia yang sama.

Negara yang sejak orde baru sering masuk peringkat sepuluh besar negara terkorup, dan ketika reformasi digadang-gadang dengan wacana ‘potong satu generasi’, tapi ternyata generasi penggantinya juga bermental koruptor.

Konon, ekstra cost-nya di negeri dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia ini bisa mencapai 30% akibat korupsi. Sederhananya, setiap angka yang diajukan, setiap biaya yang kita keluarkan, besar kemungkinan sudah memasukkan anggaran untuk dikorupsi.

Jika saja pemerintah, KPK, aparat keamanan yang jujur dan berkuasa tahu betapa besar potensi korupsi ini, tentu saja kita tidak perlu kebobolan. Mungkin sekarang cara berpikirnya harus dimulai dengan kecurigaan, kalau ada anggaran 100% maka pangkas 30% tapi hasilnya harus sama sesuai rencana, kemungkinan besar ini dilakukan tetap bisa tercapai.

Di Indonesia orang jujur banyak. Orang jujur yang berkuasa juga banyak. Tapi yang tidak banyak adalah orang jujur, berkuasa, sekaligus berani. Ini yang sedikit. Rata-rata yang jujur dan berkuasa masih kurang keberanian.

Keberanian untuk menindak teman separtai, keberanian untuk melaporkan sejawat yang korup, keberanian untuk menindak atasan yang bersalah, keberanian untuk mengungkap ke publik segala kebobrokan. Ini yang miskin.

Tapi bisa dipahami. Karena hukum masih banyak dipengaruhi kepentingan politik. Masih belum berdiri tegak tanpa intervensi. Orang jujur yang salah pergaulan bisa saja masuk penjara.

Lebih buruk lagi kekuatan pengaruh uang yang besar malah bukan sekadar digunakan untuk menutup mulut dan mengekang keberanian orang jujur, tapi juga mulai menggoyahkan kejujuran sosok-sosok yang dulu dikenal sangat amanah.

Nama-nama yang masuk dalam daftar penerima uang korupsi KTP elektronik sebagian besar masih mempunyai pengaruh yang kuat. Lebih menyedihkan, sedikit di antaranya bahkan figur yang dulu dikenal antikorupsi dan meraih penghargaan sebagai tokoh antikorupsi.

Sudah separah itukah?

Organisasi Swadaya Masyarakat yang mengawasi pemberantasan korupsi di Indonesia mencatat puluhan kasus korupsi, kini banyak hakim memvonis bebas para terdakwa. Apakah ini tanda kebangkitan koruptor?
Lalu, apakah kita punya harapan untuk memberantas korupsi?

Bisakah kekuatan rakyat bergerak menekan korupsi ketika sebagian di antara pelaku justru mempunyai kekuasaan yang besar?

Bisa. Harus bisa. Beberapa cara di bawah ini mungkin layak dilakukan.
Pertama, cermati daftar partai yang paling banyak terlibat kasus korupsi. Baca dan analisa. Lalu jangan pilih siapa pun calon dari partai tersebut.

Itu adalah hukuman yang mungkin bisa dilakukan rakyat untuk para koruptor.
Selanjutnya, lihat partai itu berkoalisi dengan partai apa. Allah berfirman, orang beriman tolong menolong dengan orang beriman. Sebaliknya, orang sesat akan saling mendukung untuk sama-sama mencegah dari tegaknya iman.

Karena itu sangat lumrah dan alami, koruptor bersahabat dengan koruptor dan partai koruptor berkoalisi dengan partai koruptor.

Hukum partai korup dengan tidak mendukung partai tersebut, tidak memilih calonnya, dan juga partai yang berkoalisi.

“Tapi tidakkah semua partai ada koruptornya?”
Benar, tapi ada partai yang koruptornya adalah oknum, ada juga yang korupsinya merupakan bagian dari budaya dan tradisi partai. Ada partai yang koruptornya sedikit, ada yang melimpah.

Pilih yang terbaik dari keburukan yang tersedia. Rakyat harus memilih.
Proyek KTP elektronik adalah salah satu dari gunung es yang terlihat, sementara di bawahnya tersimpan bongkahan es yang jauh lebih besar dan lebih parah.

Semoga Allah memberi kebersihan hati pada rakyat, aparat serta para pemimpin negeri ini. Karena segala perbuatan yang dilakukan, tak berhenti di dunia, melainkan akan diminta pertanggungjawaban di mahkamah akhirat kelak.

**********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY