Korupsi Institusional

Korupsi Institusional

884
0
SHARE

Roby Arya Brata, Pengkaji Korupsi

Garut News ( senin, 02/12 ).

Orangutan pun tak rakus. (Foto: John).
Orangutan pun tak rakus. (Foto: John).

Indonesia sedang memasuki masa krisis kepercayaan publik yang serius, yang dapat (dan telah) melumpuhkan kredibilitas institusi-institusi demokrasi.

Tindakan anarkistis baru-baru ini dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK), yang membuktikan ketidakpercayaan publik terhadap MK akibat adanya korupsi institusional, sungguh sangat memalukan dan akan menjadi catatan hitam dalam sejarah peradilan Indonesia.

Namun, secara konseptual, apakah pengertian korupsi institusional?

Lawrence Lessig, profesor hukum dan etika dari Universitas Harvard, mengatakan korupsi institusional terjadi bila ada pengaruh korup strategik dan sistemik yang  menghambat efektivitas suatu institusi dengan cara mendistorsi tujuan  institusi itu atau melemahkan kemampuan institusi untuk mencapai tujuannya,  termasuk mengurangi kepercayaan publik terhadapnya.

Apa yang terjadi di MK dan kasus-kasus korupsi institusional-sistemik di lembaga-lembaga penegak hukum, perwakilan rakyat, dan birokrasi pemerintahan membuktikan bahwa apa yang dikatakan Profesor Lessig benar.

Korupsi  institusional (judicial mafia) di tubuh kepolisian, kejaksaan, dan peradilan  telah, dalam tingkatan tertentu,  mentransformasi lembaga-lembaga ini dari  lembaga penegak hukum dan keadilan menjadi lembaga pasar jual-beli hukum serta  keadilan.

Hanya orang yang memiliki uang dan pengaruhlah yang dapat membeli  dan memperoleh “keadilan” itu.

Korupsi institusional telah mendistorsi tujuan  lembaga-lembaga ini untuk memberikan keadilan, pengayoman, kepastian, dan  perlindungan hukum.

Korupsi institusional di lembaga perwakilan rakyat dan birokrasi pemerintahan juga telah menghambat kinerja dan menyimpangkan tujuan-tujuan lembaga ini.

Dalam kasus-kasus tertentu, lembaga-lembaga yang seharusnya bertujuan  melindungi, memajukan, dan melayani kepentingan publik ini telah berubah   menjadi institusi calo (proxy institution) yang dikuasai pemilik modal, pengaruh, dan  kekuasaan.

Demokrasi telah berubah menjadi oligarki para kroni.

Lalu apa yang mesti kita lakukan untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga penegak hukum dan demokrasi ini?

Kasus MK dengan jelas  menunjukkan kepada kita tak hanya betapa krusialnya reformasi sistem, tapi  juga bagaimana menempatkan orang yang berintegritas dan kompeten untuk  menjalankan sistem itu.

Kasus ini juga memberikan pelajaran yang sangat  berharga akan pentingnya pengawasan, sehingga sistem dan orang yang mengendalikan  sistem itu berfungsi dan berperilaku sesuai dengan tujuan yang telah  ditetapkan.

Di sinilah letak pentingnya mereformasi sistem seleksi, rekrutmen, promosi, dan pengawasan terhadap pejabat-pejabat publik.

Untuk memperbaiki kepercayaan publik  terhadap MK, misalnya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK perlu  diubah (kembali) sehingga MK tidak berwenang lagi menguji undang-undang  yang berkaitan dengan fungsi dan kekuasaannya (conflict of interest).

Pengujian semacam ini hanya bisa dilakukan melalui pengujian legislatif (legislative review) oleh Dewan Perwakilan Rakyat lewat pembentukan dan  perubahan undang-undang.

Bila MK tetap nekat menguji undang-undang dengan cara demikian,  maka keputusannya batal demi hukum (null and void).

Perubahan Undang-Undang MK atau penerimaan Perpu MK oleh Dewan Perwakilan  Rakyat dengan beberapa perubahan juga mengharuskan para hakim MK yang  sekarang menjabat untuk mundur dari jabatannya.

Para hakim MK tersebut mundur  dalam waktu enam bulan setelah berlakunya perubahan undang-undang itu atau  setelah para hakim MK baru yang diseleksi menurut sistem seleksi baru yang  independen dan berintegritas terpilih atau mulai menjabat.

Sebagian hakim MK yang disangsikan integritas, kompetensi, dan sifat kenegarawanannya tentu tidak lepas dari sistem seleksi hakim MK yang diragukan integritas dan independensinya.

Selanjutnya, untuk menjaga independensi, para  hakim MK juga dilarang menduduki jabatan publik, seperti presiden atau  menteri, lima tahun setelah mereka tidak lagi menjabat hakim MK.

Selain itu,  melalui perubahan konstitusi, MK diawasi oleh Komisi Yudisial atau Dewan  Pengawas/Kehormatan.

Yang tidak kalah mendesak adalah menjaga integritas dan kompetensi birokrasi pemerintahan.

Karena itu, kekuatan masyarakat sipil harus terus mendorong disahkannya RUU Aparatur Sipil Negara.

Sudah lebih dari dua tahun pengesahan RUU ini ditunda.

Rupanya, instruksi presiden untuk segera mengesahkan RUU ini  kurang didukung oleh aparat bawahannya.

Akan tetapi, kemungkinan yang paling membuat saya khawatir adalah, karena tidak  adanya lembaga pengawas yang efektif, kasus korupsi atau penyalahgunaan wewenang yang sama di MK akan terjadi di Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sistem pengawasan internal, rekrutmen, serta seleksi pimpinan dan penyidik KPK sekarang ini sungguh rawan dijadikan ajang penyalahgunaan wewenang.

Ada kemungkinan KPK digunakan sebagai alat atau  kendaraan politik oleh pihak-pihak tertentu, terutama menjelang Pemilihan  Umum 2014.

Karena itu, seperti sudah lama saya usulkan, dewan pengawas  eksternal dan independen KPK sebaiknya segera dibentuk. * 

**** Sumber : Kolom/artikel Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY