Garut News, ( Kamis, 31/10 ).
Penangkapan Heru Sulastyono oleh kepolisian lantaran diduga menerima suap Rp11 miliar sebenarnya tak terlalu mengejutkan.
Kepala Sub-Direktorat Ekspor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai ini, ditengarai cukup lama “bermain”.
Di dalam rekeningnya ditemukan sejumlah transaksi senilai Rp60 miliar.
Pencokokan ini hanya menegaskan cap masyarakat, lembaga mengawasi arus keluar-masuk barang itu sarang suap, dan pungli.
Sehari-hari kita bisa temui bagaimana telepon seluler selundupan-biasa disebut barang BM atawa black market-mendominasi pasar bernilai perdagangan sampai Rp100 triliun dalam lima tahun terakhir.
Barang impor selundupan lain, mulai produk elektronik, tekstil, hingga mobil mewah, juga beredar luas di pasar.
Ini menunjukkan ada tak beres dengan lembaga tersebut.
Padahal banyak hal dilakukan pemerintah membenahi Bea-Cukai.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 2007 melakukan reformasi birokrasi dibarengi pemberian remunerasi.
Selain itu, dilakukan banyak perombakan, antara lain mengganti seluruh aparat di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok, menjadi pintu utama ekspor dan impor.
Sayangnya, upaya ini ternyata kurang efektif melawan korupsi.
Kita masih ingat, ketika KPK melakukan pemeriksaan mendadak di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok pada 2008, ditemukan segepok uang sogok lebih dari Rp500 juta di laci-laci para pejabatnya.
Setelah itu, terdapat kasus penyelundupan 30 kontainer Black Berry pelakunya diputus tak bersalah di tingkat kasasi.
Aparat Bea-Cukai memang berhasil mengungkap lebih dari 2.600 kasus penyelundupan sepanjang 2012, berpotensi merugikan negara Rp190 miliar.
Namun pengungkapan kecurangan dilakukan karyawan terasa sangat kurang.
Tertangkapnya Heru menunjukkan lemahnya upaya pengawasan internal membersihkan Bea-Cukai dari tangan kotor koruptor.
Padahal kasus Heru ada dalam laporan “Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan” (PPATK) pada 2010.
Saat itu PPATK mengungkapkan adanya 12 pejabat Bea-Cukai memiliki rekening gendut.
Kuatnya jaringan di Bea-Cukai diduga mengakibatkan sejumlah kasus korupsi di lembaga itu tertutupi.
Majalah Tempo edisi 11 Maret 2012 pernah menulis ihwal dugaan korupsi bekas Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai DKI Jakarta, Teguh Indrayana.
Menteri Sri Mulyani saat itu meminta Inspektorat menindaknya, tetapi pejabat memiliki rekening bernilai Rp35 miliar ini tak pernah tersentuh hukum.
Karena itu, penangkapan Heru kudu dijadikan pintu masuk mengungkap korupsi di lembaga ini.
Kepolisian dan juga KPK memang seharusnya turun tangan membantu pengawas internal di Kementerian Keuangan membersihkan Bea dan Cukai.
Penangkapan Heru dilakukan bersamaan dengan dilantiknya Sutarman sebagai Kepala Kepolisian RI diharapkan hanya sebuah kebetulan.
Bukan sebagai pencitraan bos baru korps baju cokelat, sebelum dilantik berjanji lebih mengefektifkan pemberantasan korupsi.
***** Opini/Tempo.