Y. Tomi Aryanto, Tomtomius@tempo.co.id
Jakarta, Garut News ( Sabtu, 14/12 ).
Seperti kebanyakan rakyat Indonesia, saya bersyukur bisa melihat berbagai kejutan yang disuguhkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi melalui kasus-kasus yang mereka tangani.
Namun, setelah sekian lama, tak jarang saya jadi kurang yakin apakah masih harus bertepuk tangan memberikan pujian kepada KPK, atau mesti bersedih setiap kali ada kasus baru terungkap dan ada pejabat tinggi yang tertangkap.
Setelah 10 tahun lembaga ini berdiri, nyatanya kasus korupsi bukannya berkurang, dan perilaku korup tak juga hilang.
Banyaknya kasus korupsi yang dibongkar rupanya tak cukup membuat jera para koruptor.
Sudah ada 311 kepala daerah yang tersangkut, dan angka ini boleh jadi belum akan berhenti. Apa lagi yang mesti dilakukan untuk menghentikannya?
Sudah lama para kriminolog berdebat tentang apa yang menjadi penyebab utama munculnya kejahatan.
Apakah lantaran faktor-faktor dari dalam diri si pelaku, atau lebih banyak akibat dorongan dari luar?
Memang, tak ada satu pun formula yang menjawab semua pertanyaan.
Namun setidaknya saya percaya terhadap satu pandangan bahwa niat buruk si pelaku saja terkadang tak cukup untuk membuat sebuah tindakan durjana berlangsung.
Saya kira korupsi bukan pengecualian.
Keinginan menjadi kaya atau berkuasa ada pada diri banyak orang.
Melalui jabatan atau kewenangan, kehendak itu bertemu dengan situasi yang memberi peluang bagi seseorang untuk mendapatkannya.
Imbauan dan pendidikan agar nafsu untuk cepat kaya dan hidup bermewahan semakin tenggelam di tengah membanjirnya iklan dan promosi kenikmatan hidup yang tak ada habisnya.
Yang mungkin masih bisa dilakukan di sini adalah memperketat sistem pengawasan dan mempersempit peluang seseorang melakukan korupsi.
Salahsatunya, dengan membuat aturan untuk membatasi transaksi tunai.
Kenapa transaksi tunai?
Karena kebanyakan kasus korupsi dilakukan dengan cara ini.
Transaksi tunai adalah kanal utamanya.
Sistem pengawasan yang sejatinya sudah ketat terbukti tak efektif menangkal para pencuri di lingkup birokrasi dan pos-pos kekuasaan.
Sebab, si pengawas juga belum tentu tahan godaan.
Harapan sedikit bertambah lewat ancaman pemiskinan yang mulai diperlihatkan melalui vonis dalam beberapa kasus.
Tapi, jika kanal dibiarkan tetap terbuka, agak sulit membayangkan perilaku ini bisa berkurang secara signifikan, apalagi dihentikan.
Bayangkan jika Anda memenangi tender proyek di pemerintahan, lalu diminta menyetorkan sekian persen kepada pejabat yang memuluskan kemenangan Anda.
Jika transaksi tunai dibatasi, misalnya sampai Rp10 juta saja per hari, maka untuk memberi suap Rp1 miliar, transaksi yang diperlukan akan mencapai 100 kali.
Atau kalau mau, kirimkan saja lewat transfer rekening.
Kira-kira, maukah si pejabat menerima transferan Anda?
Ah, masih bisa bertransaksi di luar negeri.
Benar juga.
Tapi berapa banyak yang akan melakukan itu?
Di tengah aneka jurus yang mulai tak mempan, pembatasan transaksi tunai ini justru belum pernah dijalankan.
Sebab, memberantas korupsi tak selalu harus dengan menangkap mereka yang telanjur tergoda, karena akan lebih baik jika bisa mencegahnya.
Tak perlu seperti petugas yang lebih suka menunggu di ujung tikungan sambil berharap-harap ada yang melanggar, lalu baru dia meniup peluitnya.
***** Kolom/artikel Tempo.co