Korupsi dan Integritas

Korupsi dan Integritas

961
0
SHARE
Azyumardi Azra. (Republika/Daan).

Red: Maman Sudiaman

Azyumardi Azra. (Republika/Daan).
Azyumardi Azra. (Republika/Daan).

REPUBLIKA.CO.ID, Megakorupsi KTP-elektronik (KTP-el) yang merugikan negara sekitar Rp 2,3 triliun sangat keterlaluan. Korupsi yang melibatkan banyak pejabat publik di legislatif dan eksekutif serta pihak swasta menunjukkan korupsi bukan kian menyurut, tetapi terus merajalela.

Telah lama juga publik dan aktivis antikorupsi berbicara tentang urgensi penguatan integritas pejabat publik dalam berbagai tingkatannya. Tampaknya, penguatan integritas itu tidak terjadi, meski tidak jarang mereka dilantik dengan menandatangani ‘Pakta Integritas’.

Subjek atau ikhwal ‘integritas’ sebenarnya telah cukup lama menjadi wacana dan praksis penting di berbagai banyak belahan dunia, termasuk di Indonesia. Karena itu, kita perlu meningkatkan pemahaman lebih baik dan langkah konsisten secara simultan untuk pengukuhan integritas guna memberantas korupsi ke akar-akarnya.

Soal integritas muncul berbarengan dengan perkembangan politik dunia yang ditandai gelombang demokrasi yang terjadi sejak paroan kedua dasawarsa 1980-an. Dunia menyaksikan semakin banyak negara yang mengalami gelombang demokrasi, termasuk Indonesia sejak 1998 dan negara-negara Arab sejak awal 2011 —yang kini kelihatan gagal.

Dalam gelombang demokratisasi yang juga terjadi akibat atau implikasi dari globalisasi, kian meningkat pula tuntutan warga di masing-masing negara bagi terwujudnya good governance, ‘tata kelola pemerintahan yang baik’, yang terutama ditandai tiga karakter pokok: integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam pemerintahan dan kepejabatan publik.

Indonesia yang telah selama hampir dua dasawarsa mengalami dan menjadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah India dan AS harus diakui —sekali lagi— belum berhasil dalam penguatan integritas penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Bahkan, bukan integritas yang kelihatan menguat, tetapi korupsi —yang merupakan antitesis integritas— kian merajalela berbarengan tidak hanya dengan demokratisasi yang tidak diikuti penegakan hukum tegas terhadap pelaku korupsi, namun juga dengan desentralisasi daerah yang membuat korupsi kian mewabah sampai ke tingkat pemerintahan paling rendah.

Kenyataan ini bisa terlihat dari berbagai survei yang dilakukan berbagai institusi, termasuk World Bank dan Transparency International, tentang indeks korupsi di Indonesia. Sejak 2001 sampai 2016, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia cenderung membaik, tapi tidak signifikan; pada 2016 indeks IPK Indonesia hanya meningkat satu poin dari 36 ke 37 poin dan menduduki posisi 90 dari 176 negara.

Dengan begitu Indonesia tetap berada di separuh bagian bawah negara-negara dengan tingkat korupsi terjelek sampai sekarang. Antara 2012-2016, IPK Indonesia meningkat hanyalima poin. Skandal megakorupsi KTP-el membuat target Indonesia mencapai 50 poin menjelang 2019 menjadi ‘musltahil’.

Meski ada perbaikan pemberantasan korupsi di Indonesia —bahkan pernah dianggap sebagai salah satu negara paling progresif di Asia— berkat masyarakat sipil, media, dan KPK yang terus memerangi korupsi, tetapi korupsi tetap masih merajalela. Karena itu, selain berharap pada KPK, masyarakat sipil dan media untuk terus meningkatkan gempuran terhadap korupsi, perlu pula peningkatan integritas aparatur negara.

Integritas (berasal dari kata Inggris, integrity) secara definisi berarti: kepengikutan dan ketundukan kepada prinsip-prinsip moral dan etis (adherence to moral and ethical principles); keutuhan karakter moral (soundness of moral character); kejujuran (honesty); tidak rusak secara moral (morally unimpared) atau keadaan moral sempurna tanpa cacat (morally perfect condition).

Untuk melengkapi, PBB mendefinisikan ‘integritas’ sebagai “sikap jujur, adil, tidak memihak [dalam urusan publik, pemerintahan, dan birokrasi]. Integritas mengacu kepada kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Integritas adalah ‘kepaduan, dan keutuhan karakter diri berdasarkan prinsip-prinsip etika dan moral dalam kehidupan dan pekerjaan pribadi maupun publik”.

Integritas dalam konteks pemerintahan dan birokrasi adalah penggunaan kekuasaan resmi, otoritas dan wewenang oleh para pejabat publik untuk tujuan-tujuan yang syah (justified) menurut hukum. Integritas dengan demikian adalah keteguhan diri aparatur birokrasi dan pejabat publik untuk tidak meminta atau menerima apapun dari

Dengan demikian, integritas merupakan antitesis dari korupsi yang merupakan penggunaan kekuasaan untuk tujuan-tujuan tidak syah atau ilegal baik oleh individu maupun kelompok yang memegang kekuasaan, otoritas dan wewenang.

Karena itu, penciptaan dan penguatan integritas para pejabat publik merupakan salah satu faktor terpenting tidak hanya dalam pemberantasan korupsi, tetapi juga dalam reformasi administrasi guna terbentuknya good governance.

Penguatan integritas para pejabat publik yang berada pada sektor publik kepemerintahan dan juga dalam otoritas pada sektor swasta dan masyarakat secara keseluruhan terbukti di banyak negara sebagai salah satu cara efektif untuk membangun sikap dan kesadaran dalam pemerintahan dan publik secara keseluruhan dalam memberantas atau setidak-tidaknya mengurangi korupsi secara lebih efektif.

Dan, lebih jauh, adanya integritas tersebut dapat memberikan dukungan bagi terciptanya good governance.

********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY