Kondom

Kondom

841
0
SHARE

Putu Setia

Putu Setia
@mpujayaprema

Garut News ( Ahad, 08/12 ).

Ilustrasi, Penyalahguna Narkoba Juga Bisa Sebabkan HIV/Aids. (Foto: John).
Ilustrasi, Penyalahguna Narkoba Juga Bisa Sebabkan HIV/Aids. (Foto: John).

Ada yang bilang bahwa saya termasuk orang modern. Setidaknya mengikuti perkembangan dunia modern meski tinggal di desa.

Tapi ada juga yang menyebut saya teramat kolot, jauh dari dunia modern.

Apa contohnya?

Jijik dengan (maaf) kondom.

Nah, dengan menulis kata “maaf” sebelum kata kondom, itu sudah membuktikan bahwa saya memang mengakui kekolotan itu.

Saya terganggu dengan perayaan orang modern yang membuat Pekan Kondom Nasional.

Dengan disingkat PKN, tadinya sempat berpikir ini Pekan Kopi Nasional.

Maklum, sebagai keluarga petani kopi, kami sedang mengembangkan varian baru mengolah kopi.

Atau Pekan Kedelai Nasional, karena di kampung kami sedang dicoba menanam kedelai.

Malu negeri agraris mengimpor kedelai dari negeri kapitalis.

Ternyata yang diurusi pemerintah bukan kedelai, melainkan kondom, yealah.

Orang-orang di kampung saya langsung terbahak-bahak dan ada yang berteriak: “Mana cewek kafe mana cewek kafe”

Mereka kolot seperti saya.

Kami tahu, kondom itu alat pembatas kelahiran untuk program Keluarga Berencana, program yang sukses di Bali meski pemakaian kondom kecil.

Kami tahu pula kondom itu alat kesehatan, mencegah penularan AIDS.

Tapi membicarakan kondom secara terbuka, dibagikan gratis di tempat umum–di kantor desa, sekolah, dan di kampus–adalah perbuatan kolot yang sok modern.

Kondom itu untuk orang dewasa yang sudah kawin, begitulah pengertian yang selama ini ada.

“Kondom itu setara benda sakral yang harus disembunyikan dari orang yang belum berhak memakainya,” begitu ceramah pemuka agama di tahun 1970-an, saat saya menjadi “wartawan KB”.

Kata sakral mengacu pada penggunaannya yang terbatas dan dijual secara “sembunyi”.

Tidak ada warung menjual kondom, barang itu hanya ada di apotek dan toko obat.

Itu pun berada di sudut-sudut, atau lemarinya beda dengan obat batuk.

Ini bukan pengamatan kedaluwarsa, bulan-bulan lalu masih seperti itu.

Entah sejak ada Pekan Kondom Nasional, ketika kondom dibagikan seperti permen.

Kenapa kondom disebut setara benda sakral?

Selain risi diperbincangkan, benda itu dipakai di tempat yang sakral.

Perkawinan adalah sakral, bukan dijadikan hobi.

“Pertemuan” sang istri dan suami juga sakral.

Dalam agama Hindu (ini bukan ceramah agama), “pertemuan lingga dan yoni” itu harus di tempat yang semestinya dan bahkan ada hari-hari yang pantang untuk “pertemuan” itu.

Tidak bisa diumbar di pojok alun-alun pada kegelapan malam.

Karena dari “pertemuan” itu akan direproduksi anak yang suputra (putra utama) dari keluarga sukhinah.

Perzinaan sanksinya berat–kalau ketahuan.

Apalagi sampai punya anak di luar nikah, jelas hasil perzinaan yang tak bisa ditutupi.

Aib ditanggung keluarga.

Karena itu, orang-orang “tersesat” yang berbuat zina pastilah sekuat tenaga menutupi hasil “sesatnya” dengan berbagai cara.

Dan, astaga, kini ada barang murah bahkan gratis untuk menghindari itu, yakni kondom.

Kesakralan hubungan suami-istri, moral yang mengedepankan hidup harmoni dalam keluarga, bahaya seks bebas dan seks sebelum kawin dari sudut agama maupun sanksi sosial, semestinya digencarkan lebih dulu dan terus-menerus, sebelum sampai pada kampanye kondom untuk alat kesehatan mencegah AIDS.

Saya sangat maklum, jumlah penderita AIDS semakin bertambah dan kondom bisa mencegah hal itu.

Tapi kalau manusia Indonesia tetap dalam “kekolotannya” dan memandang seks sebelum nikah dan seks bebas adalah sebuah aib dunia-akhirat, kondom akan kembali pada fungsinya yang mulia: hanya untuk orang dewasa sebagai alat kontrasepsi Keluarga Berencana.

Kolom/artikel Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY