Koalisi Permanen

Koalisi Permanen

844
0
SHARE

– Said Zainal Abidin, Guru Besar STIA LAN dan Mantan Penasihat KPK

Jakarta, Garut News ( Selasa, 02/09 – 2014 ).

Ilustrasi. Himpunan. (Foto : John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. Himpunan. (Foto : John Doddy Hidayat).

Sebuah strategi alternatif yang mungkin dipilih oleh kubu Merah Putih (Prabowo-Hatta) setelah keluar keputusan sidang Mahkamah Konstitusi adalah pembentukan koalisi permanen di DPR.

Apa yang dimaksudkan dengan koalisi permanen itu?

Sebagai fraksi di DPR, pengertian “permanen” bisa diartikan dalam dua bentuk. Pertama, sebagai kerja sama tetap, tapi bersifat fleksibel.

Artinya, setiap sikap dan keputusan yang diambil selalu dengan kesepakatan bersama yang sifatnya fleksibel.

Boleh jadi suatu saat mendukung kebijakan pemerintah, dan pada waktu yang lain bersikap menolak. Yang penting, keputusan itu selalu diambil secara bersama.

Maksudnya, keputusan itu dilakukan secara bersama dengan menggunakan prinsip rasionalitas dan kepentingan publik.

Kalau ini yang akan terjadi, situasi politik menjadi normal dan kondusif untuk segala pihak.

Kedua, boleh jadi pengertian permanen itu diartikan sebagai sikap oposisi permanen yang rigid. Artinya, setiap inisiatif pemerintah dalam memasukkan sebuah isu dalam agenda kebijakan (policy agenda, daftar yang mendapat prioritas untuk dibahas dalam DPR) akan ditolak tanpa memperhitungkan wujud dan tujuan dari kebijakan itu.

Kalau ini yang terjadi, situasi perpolitikan di Indonesia akan lain. Jauh dari normal dan rasional.

Sudah dimengerti bahwa fungsi DPR adalah menilai jalannya pemerintahan dengan mempertimbangkan pokok kepentingan rakyat, siapa pun dia dan apa pun partai politiknya.

Jika bertindak di luar fungsi itu, DPR dapat dianggap tidak bekerja secara wajar.

Seorang anggota DPR harus selalu menjaga agar pemerintahan berjalan sesuai dengan ketentuan konstitusi dan undang-undang yang berlaku demi kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Kita semua berharap bahwa DPR RI periode 2014-2019 cukup rasional dan bertindak secara wajar sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi yang matang.

Dalam arti, kepentingan umum/rakyat berada di atas kepentingan pribadi dan partai.

Ini dapat diharapkan karena DPR periode ini adalah pilihan rakyat secara langsung untuk ketiga kali dalam era Reformasi dan sesudah Republik berusia 69 tahun sejak merdeka.

Salah satu prinsip yang perlu dipegang adalah, apa yang pernah diucapkan oleh Abraham Lincoln, Presiden America Serikat, my loyalty to my party ends, where my loyalty to my country begins (cintaku kepada partaiku berakhir, ketika cintaku kepada negeriku dimulai).

Bersamaan dengan itu, sambil mengharapkan pilihan yang tepat, pada tempatnya pula kita ingin mengingatkan jika seandainya para politikus tersebut tergelincir dan memilih jalan oposisi permanen yang rigid.

Pertama, dengan jumlah suara anggota DPR dari koalisi permanen tersebut yang lebih besar, mengandung akibat setiap isu kebijakan (policy issue) inisiatif pemerintah akan mengalami hambatan untuk masuk ke agenda kebijakan (policy agenda).

Pertanyaannya, bisakah mereka melakukan hal yang demikian jika isu yang disampaikan tersebut mendapat dukungan besar dari rakyat?

Dalam era keterbukaan sekarang, rakyat secara mudah dapat mengikuti apa yang terjadi di DPR. Kalau koalisi permanen yang dimaksud menolak kepentingan rakyat yang diperjuangkan pemerintah, saya khawatir mereka tidak akan pernah lagi mendapat dukungan untuk seterusnya pada masa yang akan datang.

Partai-partai yang bersangkutan akan surut popularitasnya di mata rakyat-untuk tidak menyebutkan akan gulung tikar.

Kedua, sebagai partai politik pada umumnya, tokoh-tokoh partai mempunyai keinginan mendapatkan kekuasaan atau posisi dalam pemerintahan.

Karena itu, oposisi permanen yang lepas sama sekali di luar pemerintahan Indonesia dapat dikatakan sulit terbentuk.

Dalam banyak hal, oposisi itu selalu bersifat setengah-setengah. Oposisi, ya, menerima jabatan juga OK.

Pada periode yang lalu, secara gamblang sikap setengah-setengah itu sering dituduhkan kepada PKS. Sebenarnya, semua partai juga mengandung potensi yang sama.

Kecuali hanya satu-dua partai yang sudah lama berpengalaman sebagai partai oposisi.

Memahami kondisi perpolitikan inilah, mengapa Jokowi dan Surya Paloh secara terbuka menawarkan kemungkinan bergabung bagi partai-partai yang dulu tidak mendukung Jokowi-JK untuk ikut dengan koalisi partai pemerintah.

Secara halus, mungkin mereka dapat membaca adanya keinginan dari partai-partai tersebut yang sedang mempertimbangkan cara yang lebih elegan untuk bergabung.

Dengan harapan, mudah-mudahan dapat memperoleh kursi di kabinet.

Ketiga, dengan alasan di atas, ada kemungkinan terbentuk koalisi permanen yang bersikap oposisi permanen kecil.

Koalisi permanen dari partai-partai yang bergabung dalam kelompok tersebut tidak mempunyai sesuatu landasan ideologis untuk mau berkorban tanpa alasan yang jelas.

Kalau ada di antara pemimpin partai yang telanjur tetap berkukuh mempertahankan koalisi permanen, saya kira mereka akan digeser dari kedudukannya oleh tokoh-tokoh lain dalam partai itu sendiri.

Hal ini mulai kelihatan dengan guncangan yang timbul dalam Partai Golkar dan PPP.

Kita tidak mengharapkan hal-hal yang tidak wajar itu akan terjadi, karena kestabilan politik nasional yang ditopang oleh kematangan partai politik merupakan modal utama dalam pembangunan nasional. 

******

Kolom/Artikel : Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY