Red: Maman Sudiaman
REPUBLIKA.CO.ID, “Upaya memahami orang ini seperti usaha menemukan rahasia permainan Rubik’s Cube… Kita tidak tahu apa yang akan dikerjakan orang ini…!’’
Ini adalah kesimpulan yang dibuat Wakil Presiden AS Joe Biden dalam wawancara dengan Majalah the New York Times, beberapa hari sebelum ia dan Barack Obama digantikan secara resmi oleh Presiden dan Wakil Presiden AS yang baru, Donald Trump dan Mike Pence. ‘Orang ini’ yang dimaksud adalah Donald Trump. Biden ditanya bagaimana AS pada empat tahun ke depan ketika negara adidaya itu dipimpin pengusaha properti tersebut.
Untuk banyak orang —bukan hanya bagi Biden—, Trump adalah misteri. Juga kontroversi. Dan, orang yang misterius dan serbakontroversial itu pada Jumat lalu telah dilantik sebagai presiden ke-45 Amerika Serikat (AS). Lihatlah, pelantikannya saja sudah mengundang kontroversi. Tidak kurang dari 26 anggota kongres ogah menghadiri upacara inaugurasinya. Pelantikannya juga diwarnai aksi unjuk rasa menentangnya.
Bahkan jauh hari sebelum pelantikan, semasa kampanye, berbagai pernyataan Trump sudah menimbulkan pertentangan yang hebat. Salah satunya adalah ketika ia mengatakan, umat Islam akan dilarang masuk AS kalau ia jadi presiden. Sikapnya ini dinilai sebagai rasis. Ia pun dituduh sebagai anti-Islam dan umat Islam.
Anehnya, berbagai pernyataan kontroversial ini sering ia lepaskan lewat cuitan-cuitan pendek di Twitter. Dan, ia cuek bebek. Ia tak peduli apakah kicauannya akan menimbulkan pro atau kontra. Yang terbaru adalah cuitannya menanggapi pernyataan legenda hak sipil dan anggota Kongres dari Partai Demokrat, John Lewis, enam hari sebelum ia dilantik.
Lewis mengatakan, ia tidak akan menghadiri pelantikan Donald Trump. Ia menganggap Trump sebagai presiden yang tidak sah. Alasannya, “Saya kira orang-orang Rusia telah terlibat dalam membuat orang ini (Trump) terpilih. Mereka (Rusia) telah membantu menghancurkan pencalonan Hillary Clinton.’’
Menanggapi pernyataan Lewis ini, Trump pun langsung berkicau di Twitter, “Aggota Kongres John Lewis seharusnya meluangkan waktu lebih banyak dalam memperbaiki dan membantu distrik yang diwakilinya, yang berada dalam keadaan yang mengerikan dan berantakan, ketimbang mengeluh secara keliru tentang hasil pemilihan presiden. Semuanya bicara, bicara, dan bicara. Tak tak ada tindakan atau hasil. Menyedihkan.’’
Kontan saja pernyataan Trump ini pun jadi bulan-bulanan kecaman dari para politikus, seniman, dan warga AS lainnya. Mereka lantas membandingkan antara apa yang telah diperbuat oleh Trump dan Lewis. Mereka menganggap Trump selama ini hanya memperkaya diri sendiri dan keluarganya.
Sedangkan Lewis telah berjasa kepada negaranya. Ia adalah pahlawan dan ikon penting Amerika. Ia seorang tokoh terkemuka dalam gerakan hak-hak sipil tahun 1960-an. Dia adalah orator terakhir yang masih hidup yang tampil dalam unjuk rasa Maret 1963 di Washington, yang dipimpin mendiang Martin Luther King.
Kita tidak tahu apakah setelah dilantik sebagai presiden pada Jumat lalu, Trump masih akan melemparkan cuitan-cuitannya di Twitter untuk menangkal para pengritiknya? Juga apakah pernyataan-pernyataannya masih terus memunculkan kegaduhan? Menimbulkan kontroversi, pro dan kontra?
Kalau saja Donald Trump hanya memimpin sebuah negara kecil di Afrika, Amerika Latin, atau di Asia, mungkin berbagai pernyataannya yang serbakontroversial tidak akan membawa masalah. Namun, ini Amerika Serikat, Bung! Negara superpower.
Negara yang pengaruhnya bisa mengharu-biru banyak negara di muka bumi. Ia batuk saja, banyak negara yang langsung meriang. Panas dingin. Ia berdehem, pasar saham di berbagai negara bisa langsung rontok. Nilai tukar mata uang asing terhadap dolar bisa langsung jungkir balik.
Banyak pihak yang sudah mencoba mempelajari tentang diri Donald Trump. Melalui karakter pribadi dan lewat berbagai pernyataannya. Juga dari cuitan-cuitan di Twitter-nya. Namun, sekali lagi, Trump tetaplah sosok yang misterius. Susah ditebak.
Kontroversial. Orang tidak tahu bagaimana jalan pikirannya. Pun sikap politiknya. Namun, karena ia sudah dilantik sebagai penguasa Gedung Putih, orang pun menunggu kebijakan-kebijakannya. Termasuk berbagai kejutan yang mungkin akan terjadi.
The Economist Intelligence Unit (EIU), sebuah lembaga kajian dan reset Majalah the Economist, tahun lalu sudah memperingatkan naiknya Trump sebagai presiden AS akan berdampak besar kepada situasi keamanan dan politik dunia. EUI menempatkan AS sebagai 10 risiko tertinggi dunia, apabila Trump bersinggasana di Gedung Putih.
Pada skala risiko 1 hingga 25, naiknya Trump sebagai presiden AS dikategorikan 12. Berdasarkan angka tersebut, Trump menduduki peringkat enam dalam 10 risiko tertinggi. Persis di bawah Trump, juga dengan angka risiko 12, adalah peningkatan ancaman terorisme yang menggoyang stabilitas ekonomi dunia.
Kini Donald Trump benar-benar telah bersinggasana di Gedung Putih. Ia telah dilantik jadi penguasa nomor satu di negara superpower itu. Rasanya tidak adil bila melihat sosok Trump hanya dari kacamata pesimisme.
Dari pemilihan para menteri dan pembantu utamanya di Gedung Putih menunjukkan birokrasi Trump tidak akan berbelit-belit. Keputusan akan diambil cepat. Sebagai pebisnis ia tidak akan menyia-nyiakan peluang.
Keputusan politik akan dia lihat sebagai transaksi dagang. Sisi optimisme dari Trump inilah yang juga dicoba dilihat oleh para pemimpin di kawasan Timur Tengah.
Pengamat Timur Tengah, Usman Mirghani, membandingkan kebijakan yang akan diambil Presiden Trump dengan yang telah diambil Presiden Obama. Menurut dia, Obama dikenal sebagai pemimpin peragu terkait kawasan Timur Tengah.
Tidak tegas. Bahkan yang lebih buruk lagi, Obama dianggap sebagai pemimpin yang ‘tidak berbuat apa-apa’ di Timur Tengah.
Akibat dari kebijakan Obama itu, selama delapan tahun kepemimpinannya di Gedung Putih, kawasan Timur Tengah semakin membara. Kacau. Yang paling menonjol adalah munculnya kelompok teroris yang menamakan diri sebagai ISIS yang kini menguasai wilayah luas di Irak dan Suriah.
Kemunculan ISIS bukan hanya membahayakan kawasan Timur Tengah, tapi juga sudah mengancam perdamaian dunia. Sejauh ini, menurut Mirghani, berbagai pernyataan Trump mengenai kelompok ISIS masih sejalan dengan sebagian besar pemimpin di Timur Tengah.
Hanya saja yang perlu dikhawatirkan dari kebijakan Trump, lanjut Mirghani, adalah dukungannya yang mutlak terhadap Zionis Israel. Dukungan yang sebenarnya merupakan kebijakan umum semua presiden AS. Namun, Trump tampaknya ingin melangkah lebih jauh dari itu.
Ia antara lain menolak tuntutan penghentian pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Palestina. Ia juga berjanji akan memindahkan Kedubes AS dari Tel Aviv ke Yerusalem.
Bila janji-janji Trump semasa kampanye ini benar-benar diterapkan, ia akan menjadikan kawasan Timur Tengah dalam bahaya. Segala kemungkinan bisa terjadi. Bahkan perang terbuka sekalipun. Keberadaan negara Israel yang ekspansionis merupakan sumber segala persoalan di Timur Tengah selama puluhan tahun.
Namun, sekali lagi, Trump adalah sosok misterius dan sekaligus kontroversial. Berbagai pernyataannya juga sering berubah-ubah. Sebagai politikusi yang berlatar belakang pebisnis, ia akan melihat kenyataan. Janji-janji politik semasa kampanye bisa saja berubah di tataran fakta.
Kini, sebagaimana dikatakan mantan wapres AS Joe Biden, kita tidak tahu ‘apa yang akan dilakukan orang ini’ selama empat tahun ke depan. Yakni apakah akan menjadikan AS sebagai risiko tertinggi bagi keamanan dan perdamaian dunia atau sebaliknya. Kita hanya bisa menunggu berbagai kejutannya.
********
Republika.co.id