Selasa , 29 Agustus 2017, 09:45 WIB
Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nana Sudiana *)
Setelah Indonesia merdeka, nasib petani di negeri ini tak serta merta sejahtera. Berganti-ganti presiden kemudian, tetap saja tak terlalu banyak perubahan pada nasib petani. Berbagai kebijakan pertanian belum mampu mengangkat nasib petani menjadi lebih makmur dan sejahtera di negeri agraris yang kata para pujangga, “negeri gemah ripah loh jinawi”. Arti istilah tadi walau singkat kata-katanya namun maknanya begitu dalam, menggambarkan sebuah negeri yang tentram dan makmur serta sangat subur tanahnya.
Betapa luar biasa gambaran tadi, sebuah gambaran ideal sebuah negeri dimana kemakmuran rakyatnya begitu nyata, mereka hidup dalam limpahan kebaikan alam sehingga kebahagiaan, kesenangan dan ketentraman mewujud nyata. Sebuah gambaran tentang kesuburan tanah dan limpahan hasilnya yang bisa dinikmati oleh seluruh penduduk negeri tanpa kecuali.
Ketika hari ini kita bertemu sejumlah petani di negeri ini, lalu kita bertanya apakah benar mereka telah sejahtera? Telah menjadi bagian utama negeri subur nan mempesona. Sehingga orang-orang dari negeri-negeri jauh berkehendak menguasai tanah dan kesuburan negeri ini. Para petani yang kita jumpai hari ini, sangat mungkin akan kebingungan menjawabnya.
Selain mereka belum sampai pada titik makmur dan sejahtera, bisa jadi nasib mereka sendiri sejatinya tak bisa sepenuhnya disebut petani. Mereka bekerja di sawah-sawah dan kebun mungkin iya, namun lahan yang mereka kerjakan ternyata sebagian besarnya bukan milik mereka. Barangkali lebih dekat disebut buruh pertanian untuk menyebut mereka daripada disebut petani sebenarnya.
Bila pun ada lahan, barangkali banyak petani kini tak lagi memiliki lahan signifikan jumlahnya. Lahan yang ada hanya lahan warisan turun temurun yang jumlahnya dari waktu ke waktu semakin mengecil karena terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Banyak yang hidup di sektor pertanian namun penghasilannya hanya cukup untuk memenuhi makan sehari-hari dia dan keluarganya. Petani model beginilah yang ketika Soekarno muda ia namakan “Marhaen”.
Dalam buku Biografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams, kita akan tahu bagaimana gambaran Soekarno yang jiwanya bergolak mengetahui bawa demikian miskin rakyat ketika itu di bawah penjajahan. Peristiwa yang terjadi pada 1920 saat itu, demikian membekas dalam jiwa Soekarno muda yang kelak akan menjadi presiden pertama negeri yang bernama Indonesia.
Soekarno memang ketika itu masih mahasiswa, namun ia tak terima rakyat kecil yang menggarap tanahnya masing-masing tertindas dan tak punya kemampuan dan daya tawar untuk bisa hidup lebih baik.
Soekarno ketika itu sedang tak kuliah dan berkeliling Bandung dengan sepedanya. Ia secara tidak sengaja menemukan seorang petani berbaju lusuh yang sedang bekerja di sawah yang ada di Bandung. Nama petani tadi adalah Marhaen. Dan sejak saat itu Soekarno bertekad untuk memperbaiki nasib rakyat kecil di negeri ini, terutama mereka yang bekerja sebagai petani atau rakyat kecil lainnya. Nama “Marhaen” ini pula kelak yang akan menjadi semangat Soekarno dalam membantu rakyat kecil dan memperjuangkannya agar bisa lebih mandiri.
Dalam buku Cindy Adams, tergambar dialog akhir Soekarno setelah ia bertemu Marhaen : “Kemudian aku menanyakan nama petani muda itu. Dia menyebut namanya, Marhaen. Marhaen adalah nama umum seperti Smith dan Jones. Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia. Semenjak saat itu kunamakan rakyatku, Marhaen”.
Di buku Cindy Adams juga dipaparkan gambaran umum para petani ketika jaman Soekarno muda. Para petani ketika itu bertani di atas lahan yang sangat kecil. Mereka korban feodalisme, diperas oleh para bangsawan selama berabad-abad. Rakyat dipaksa mengikuti pola ekonomi imperialisme di mana hanya bisa memenuhi kebutuhannya sekadar untuk makan. Hidup para petani tambah sengsara karena terjepit oleh kepentingan modal kuat swasta Belanda, eksploitasi pemerintah kolonial Belanda, dan kepentingan ekonomi asing.
Soal gula yang tak semanis rasanya
Pada masa pemerintahan Belanda, Indonesia memang merupakan salah satu negara yang diandalkan oleh pemerintah Belanda untuk sektor pergulaan. Namun situasinya semakin ke sini semakin mengalami kemunduran. Produksi gula tak lagi menjadi kekuatan pertanian negeri ini.
Soal kebijakan gula dan petani tebu memang tak mudah. Dalam pandangan Kementerian Perindustrian, produksi pabrik gula yang ada saat ini, baik perusahaan pemerintah maupun swasta belum mencapai maksimal. Sehingga diperlukan pengembangan pabrik gula dan lahan tebu baru di berbagai wilayah.
Dan untuk mengatasi permalasahan kurangnya pasokan gula tadi, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Di antaranya, penyediaan lahan untuk perluasan penanaman tebu, bisa juga dengan menggandeng investor untuk membangun perkebunan tebu dan sekaligus pendirian pabrik gula baru. Dan dalam pendirian pabrik gula baru ini, informasi yang didapatkan dari para petani justru ternyata pemerintah mengutamakan pemilik pabrik gula rafinasi.
Dari sudut pandang para petani tebu, mereka menilai, Kementerian Perdagangan (Kemendag) terlalu mudah memberikan izin impor gula rafinasi. Padahal, gula rafinasi impor hanya untuk sektor industri terutama sektor makanan dan minuman. Dampak lain banyaknya gula rafinasi yang beredar di pasar adalah harga jual gula lokal yang terus menurun.
Masih dalam sudut pandang petani, mestinya pemerintah bila memang melihat adanya kekurangan terhadap gula unttuk kebutuhan industri sebaiknya kekurangan tadi tidak harus diselesaikan dengan impor. Tapi bisa dilakukan dengan peningkatan produksi. Peningkatan produksi itu sendiri bisa dilakukan dengan intensifikasi dan menambah luas areal tanaman tebu masih sangat terbuka peluangnya.
Persoalannya kini kisruh gula semakin tak jelas, petani tebu merasa belum ada perbaikan yang dilakukan pada para petani agar hasil dari tanaman tebu yang mereka kelola berkualitas dan memenuhi standar SNI. Bukankah awal mulanya gula petani tak diterima adalah disebabkan alasan kualitasnya di bawah standar.
Kalau dibiarkan terus, lalu bagaimana nasib petani tebu yang jumlahnya ribuan. Bagaimana pula tanggung jawab BUMN yang berurusan dengan gula bila selama ini hampir sebagian besar tebu petani ya di giling di pabrik-pabrik BUMN milik pemerintah.
Kejadian penyegelan ribuan ton gula milik petani di Cirebon oleh Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kementerian Perdagangan (Kemendag) menjadi semakin membuat terusik kalangan petani tebu di Cirebon. Penyegelan ini sendiri dilakukan dengan alasan gula tersebut tak memenuhi kualitas Standar Nasional Indonesia (SNI). Para petani tebu di Cirebon menduga, penyegelan yang didahului dengan penilaian secara mendadak itu untuk memuluskan peredaran gula impor rafinasi.
Wajar bila ketidakjelasan soal kebijkan gula ini menimbulkan protes petani tebu. Hari Senin (28/8) sebagaimana kita lihat di sejumlah media, sebanyak 5.000 petani tebu yang tergabung ke dalam asosiasi Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) melakukan unjuk rasa di Jakarta. Mereka melakukan aksinya di tiga lokasi, dimulai dari istana negara, Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bahkan kata sejumlah peserta aksi ketika diwawancara media, mereka beraksi seharian hingga pukul 17.00 WIB sore.
Petani tebu memang tak seberapa jumlahnya dibandingkan rakyat Indonesia. Namun, apakah jeritan hati mereka dibiarkan dan soalah tak terjadi apa-apa. Kini saatnya ada kebijakan pro petani yang bisa mendorong sisi keadilan bagi petani sehingga mereka bisa memiliki peluang bisa lebih baik dan lebih sejahtera kehidupannya.
Persoalan petani tebu juga kini semakin mendapatkan perhatian yang luas. Salah satunya datang dari Ikatan Alumni Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menggalang Aksi Beli Gula Petani Cirebon. Aksi dalam bentuk menggulung dukungan bagi perbaikan nasib petani sekaligus juga pengumpulan pesanan beli gula petani.
Aksi alumni IPB ini bukan tak mungkin akan semakin mendapat dukungan luas. Sepanjang tidak ada perbaikan yang nyata atas nasib petani tebu, bisa jadi perhatian masyarakat akan semakin intens dan bisa pula aksi beli gula petani ini mendapatkan momentum menjadi viral dan massif.
Semoga masalah ini secepatnya terselesaikan dan pemerintah bisa mengambil kebijakan win-win solution sehingga petani tebu yang ada di desa-desa tak perlu lagi turun aksi dan bisa lebih fokus menuju kemandirian dan kesejahteraan petani melalui peningkatan kualitas dan kuantitas hasil pertanian.
Wallahu’alam bishowwab.
*) Direktur Kemitraan Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU).
********
Republika.co.id