Ketika Kewenangan KPI Dipersoalkan

Ketika Kewenangan KPI Dipersoalkan

836
0
SHARE

Abdul Salam Taba, alumnus Fakultas Hukum Universitas 45 Makassar dan School of Economics The University of Newcastle, Australia

Jakarta, Garut News ( Kamis, 03/10 ).

Ilustrasi. (ist).
Ilustrasi. (ist).

Keinginan menjadikan KPI bisa melaksanakan fungsi legislasi, eksekutif, dan yustisi juga dapat menciptakan overlapping pengĀ­aturan dan kekacauan dalam pemberian dan pencabutan Izin Penyelenggaraan Penyiaran.

Rencana perluasan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang akan membuat fungsi lembaga penyiaran ini tidak hanya terbatas pada soal pengawasan dan rekomendasi pemberian izin, tapi juga bisa menetapkan aturan serta memberikan dan mencabut izin penyelenggara siaran, telah menimbulkan pro-kontra.

KPI, sebagai pihak yang pro, beranggapan kewenangan pengaturan, pemberian izin, dan pencabutan izin siaran harus diserahkan ke KPI.

Sebab, dengan kewenangan tersebut, KPI sebagai lembaga independen akan lebih “bertaring” dan terhindar dari pelecehan para penyelenggara siaran yang sering kali mengabaikan teguran dan sanksi yang diberikan.

Sementara itu, pemerintah cq Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menilai yang berwenang membuat aturan, serta mengeluarkan dan mencabut izin penyelenggara siaran, adalah Kemkominfo.

Pasalnya, lembaga negara ini merupakan regulator penyiaran yang telah ditunjuk dan dibentuk berdasarkan UUD 1945.

Menjadi pertanyaan, siapa sebenarnya yang berhak mengatur, memberikan, dan mencabut izin penyelenggaraan penyiaran?

Benarkah pengaturan, pemberian, dan pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran harus ditangani KPI?

Bila dicermati, upaya menjadikan KPI sebagai lembaga yang berwenang mengatur, memberikan, dan mencabut izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) akan menimbulkan berbagai masalah.

Pertama, sebagai negara hukum (rechtstaat), tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip pembatasan kekuasaan, karena kekuasaan dinilai cenderung korup (power tends to corrupt).

Artinya, KPI sebagai lembaga negara yang independen tidak boleh sekaligus melaksanakan fungsi yang bersifat legislasi, eksekutif, dan yustisi.

Karena itu, fungsi membuat peraturan harus dikembalikan sepenuhnya kepada pemerintah (presiden cq Kemkominfo).

Keinginan menjadikan KPI bisa melaksanakan fungsi legislasi, eksekutif, dan yustisi juga dapat menciptakan overlapping pengaturan dan kekacauan dalam pemberian serta pencabutan IPP.

Sebab, hal itu setidaknya akan memicu persaingan dan perebutan kewenangan antara KPI dan Kemkominfo. Pun, menyalahi ketentuan International Telecommunication Union (ITU), yang telah menetapkan hanya satu administrator telekomunikasi di setiap negara.

Selain itu, secara yuridis yang berwenang mengeluarkan IPP adalah Kemkominfo.

Sebab, izin (IPP) merupakan salah satu bentuk Keputusan Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang telah diubah terakhir dengan UU Nomor 51/2009.

Undang-undang tersebut menetapkan yang berwenang menerbitkan izin adalah pejabat atau badan usaha negara yang melaksanakan urusan pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain UU Nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara.

Penilaian yang menyatakan KPI tidak bisa independen karena fungsinya dibatasi dan tidak berperan layaknya regulator independen, seperti FCC di Amerika Serikat, OFCOM di Inggris, dan ACMA di Australia, juga merupakan anggapan yang keliru dan tidak relevan.

Sebab, selain sistem hukum dan ketatanegaraan kita berbeda dengan mereka, independensi regulator sejatinya juga ditentukan oleh kinerja pengurusnya yang tidak bisa dikooptasi oleh siapa pun.

Terkait dengan hal tersebut, keberadaan dan independensi KPI patut diragukan dan dipertanyakan.

Sebab, pada kenyataannya pengurusnya masih terpengaruh dan memihak.

Indikasinya terlihat dari sikap Ketua KPI Judhariksawan-yang pada awal mencuatnya kasus penyiaran konvensi Partai Demokrat oleh TVRI yang berdurasi lebih dari dua jam menilai bahwa TVRI boleh menyiarkan acara tersebut (Tempo.co, 16 September 2013).

Padahal kegiatan tersebut tidak hanya menyalahi peraturan dan standar program siaran yang notabene dibuat oleh KPI, tapi juga melanggar asas netralitas dan independensi, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU Nomor 32/2002, yang pada intinya menetapkan lembaga penyiaran publik bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.

KPI, sebagai wujud peran serta masyarakat, yang berfungsi mewadahi aspirasi dan mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran-sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 8 UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran-seyogianya berfokus pada pengawasan isi siaran dan menjamin agar masyarakat memperoleh hak atas informasi, seperti diamanatkan oleh Pasal 28F UUD 1945.

Pasalnya, data pengaduan kepada KPI periode 2010-2013 menunjukkan kualitas materi berita dan pertimbangan utama media, menurut Anom Surya Putra (Kompas, 25 Juni 2013), masih sering menampilkan berita-berita sensasional tapi tidak berbobot alias tidak mendidik, khususnya bagi generasi muda, seperti tayangan Rohis yang dikaitkan dengan terorisme, tayangan Khasanah yang non-multikultural, acara mistik, dan tayangan infotainmen tentang Eyang Subur yang membongkar privasi.

Karena itu, untuk lebih menguatkan peranan KPI-dalam mengawasi isi siaran agar tidak bias dan menjamin hak masyarakat memperoleh informasi yang benar dan mendidik-perlu ditambahkan klausul baru dalam RUU Penyiaran yang sedang digodok di DPR.

Klausul dimaksud ialah larangan intervensi pemilik lembaga penyiaran terhadap redaksi pemberitaan, termasuk mekanisme pengawasan dan pengaduan standar program.

Jika KPI ingin berperan dalam pemberian dan pencabutan IPP, seyogianya peran itu diwujudkan dalam bentuk kewenangan untuk memberikan rekomendasi pemberian dan pencabutan izin penyiaran televisi dan radio dengan pertimbangan KPI yang lebih tahu kesalahan lembaga penyiaran.

Kewenangan tersebut selaras dengan harapan dan keinginan DPR, sebagaimana yang telah disuarakan oleh Ramadhan Pohan dari Fraksi Demokrat yang didukung T.B. Hasanuddin dari Fraksi Demokrasi Indonesia Perjuangan (Tempo.co, 3 Juli 2013).

Kemampuan KPI melaksanakan pengawasan isi siaran dan menjamin hak masyarakat memperoleh informasi yang benar dan mendidik akan berimplikasi ganda.

Selain akan membuat KPI lebih dihargai masyarakat dan tidak dilecehkan lembaga penyiaran, hal itu akan memicu pengembangan industri penyiaran secara lebih sehat dan kompetitif.

****** Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY