Rabu , 05 July 2017, 04:30 WIB
Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh : Salamun *)
Setiap anak manusia yang terlahir ke muka bumi, sejatinya dalam keadaan fitrah (Suci). Suci dalam perspektif Islam bukanlah ibarat kertas putih kosong, namun sudah membawa potensi Ketuhanan. Ketika akan ditiupkan ruh, pada usia empat bulan dalam kandungan sudah disumpah, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi”(QS.Al A’raf:172).
Demikianlah semua Bani Adam (manusia) dilahirkan dengan membawa potensi ketuhanannya. Tuhan pasti hadir (dibutuhkan) ketika biasanya anak manusia berada dalam puncak kesulitan. Ketika sedang sakit, misalnya, Tuhan hadir bahkan bersumpah untuk rajin ibadah baik yang berdimensi individu maupun sosial, mau rajin shalat, sedekah, zakat dan lain sebagainya, hanya saja kebanyakan orang akan lupa dengan kesadarannya tersebut ketika sudah sembuh. Banyak yang menemukan Tuhannya ketika berada dipenjara, meskipun banyak juga yang makin canggih kejahatannya ketika mereka ‘sekolah’ dipenjara. Idealnya, memang tidak perlu masuk penjara kemudian bertemu Tuhan, namun demikian patut disyukuri jika ternyata penjara justru menjadi asbab hidayah yang tidak semua orang mendapatkannya.
Demikian halnya tidak terkecuali manusia paling kurang ajar dimuka bumi yakni Fir’aun yang karena barangkali menurut riwayat tidak pernah sakit dan menjadi manusia paling berkuasa pada zamannya. Ia kemudian mendeklarasikan diri sebagai Tuhan. Namun Allah SWT tunjukkan kekuasaan-Nya, ketika sampai pada puncak pengejarannya terhadap Musa As, diberikan Mukjizat kepada Nabi Musa As dan pengikutnya dapat membelah laut supaya dapat dilalui dan menenggelamkan Firaun beserta bala tentaranya.
“Sehingga ketika Fir’aun hampir tenggelam dia berkata: “Aku percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku Termasuk orang-orang muslim (berserah diri)” (QS. Yunus:90).
Demikianlah, Fir’aun menyatakan iman Islam-nya ketika napas sudah hampir sampai pada kerongkongan, dan kesadaran atau taubat pada titik yang demikian menjadi tidak berguna lagi (lihat QS.An-Nisa:18). Pesan Allah SWT berikutnya kepada seluruh umat manusia untuk diambil pelajaran ialah dengan ‘menyelamatkan’ jasad Fir’aun sebagai fakta empirik tentang kematiannya yang tidak bisa terbantahkan dengan argumentasi apapun.
“Maka pada hari ini Kami selamatkan jasadmu agar engkau dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahmu, tetapi kebanyakan manusia tidak mengindahkan tanda-tanda (kekuasaan) Kami”.(QS.Yunus :92).
Belajar dari kisah Fir’aun, maka hendaknya menjadi komitmen kita sebagai ummat manusia yang memang terlahir membawa fitrah ketuhanan untuk bertekad mulai saat ini senantiasa menjemput hidayah dan berusaha untuk istiqamah dalam ketaatan kepada Allah SWT. Jangan sampai menyesal seperti Fir’aun yang baru sadar pada saat final call (panggilan terahir) yaitu maut datang menjemput.
Setidaknya ada tiga panggilan Allah SWT yang harus kita penuhi. Panggilan pertama adalah panggilan untuk menunaikan shalat fardhu secara berjamaah. Adzan sejatinya merupakan panggilan Allah SWT, kita tidak perlu mempertimbangkan siapa yang mengumandangkan adzan, apapun keberadaan sang muadzin ia adalah wakil Tuhan.
Bahkan sahabat Bilal muadzin Rasulullah SAW adalah berasal dari kalangan budak kulit hitam yang dalam pandangan masyarakat Jahiliyah saat itu merupakan golongan rendah. Begitulah Allah SWT dan Rasulullah-Nya membongkar tatanan dan sistem yang ada. Bilal menjadi satu di antara sahabat karib Rasulullah SAW, memerdekakan budak menjadi amalan yang sangat mulia. Hingga saat ini orang yang bertugas mengumandangkan adzan disebut sebagai bilal.
Shalat berjamaah adalah merupakan satu-satunya cara yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam menunaikan shalat fardhu. Bahkan mayoritas Ulama berpendapat bahwa tidak ada tempat shalat bagi lingkungan masjid kecuali di Masjid atau Mushalla dimana adzan dikumandangkan. Jika belakangan muncul gerakan subuh berjamaah barangkali itu sebagai starting point menuju shalat lima waktu secara berjamaah.
Sangat boleh jadi silang sengkarut dan degadrasi moral dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini karena kita sudah menyepelekan shalat fardhu secara berjamaah. Allah SWT menjamin jika penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa–yang insya Allah di antara indikatornya adalah shalat fardhu secara berjamaah–pasti dikaruniakan keberkahan dan kesejahteraan atas negeri mereka (lihat QS.Al-A’raf:96).
Masih sering kita jumpai event yang dihelat oleh masyarakat biasa maupun pemerintahan, jangankan rapat, seminar, proses belajar mengajar dan lain sebagainya bahkan ‘pengajian’ saja sering melampaui awal waktu shalat dengan berbagai argumentasi pembenaran. Adzan bukan hanya sekadar cukup dihargai dengan break mendengarkan namun lebih dari itu yang terpenting ialah mendatanginya untuk shalat berjamaah.
Jika ingin Bangsa Indonesia bangkit menuju negara yang ‘Baldatun thayyibatun wa- Rabbun ghafur’– makmur dengan penuh keberkahan dan ampunan Tuhan Yang Maha Kuasa, maka sudah sepatutnya mulai saat ini gerakan shalat fardhu secara berjamaah harus menjadi gerakan Nasional. Akan lebih cakep jika dimulai atau setidaknya diaminkan oleh negara, sehingga kelompok yang satu terhadap yang lain tidak perlu menyebut itu sebagai gerakan politik.
Panggilan kedua ialah haji. Untuk memenuhi panggilan haji diberlakukan bagi yang memiliki kemampuan (QS.Ali ‘Imran:97). Sering orang mengatakan belum dapat panggilan, atau minta didoakan segera dipanggil, padahal Allah SWT telah memanggil kita berulang-ulang sejak empat belas abad yang lalu.
Tentu panggilan haji yang mensyaratkan bagi yang mampu berlaku secara umum dan otomatis berimplikasi hukum saat itu (ketika mencapai titik kemampuan), sehingga seseorang yang lalai akan panggilan ini dihukumi sebagai mengingkari perintah –yang mohon maaf dalam terminologi agama sebagai kufur (lihat QS. Ali ‘Imran:97).
Banyak yang berpikiran menunda keberangkatan hajinya nanti menunggu jika sudah memungkinkan bisa istiqamah dalam ketaatan, padahal justru dengan berhaji maka insya Allah menjadi kendali supaya bisa istiqamah. Sering kita mendengar nanti kalau saya sudah haji tidak seperti dia, masih maksiat juga bahkan tidak shalat dan lain sebagainya, padahal tidak ada seorangpun yang mengetahui berapa lagi umur yang diberikan Allah SWT untuk kita. Sikap demikian ketika yang bersangkutan jatuh pailit, hukum wajib hajinya masih berlaku baginya.
Panggilan ketiga ialah maut. Ketika ajal tiba maka tidak ada yang mampu menyegerakan atau menundanya walau sesaat (QS.al A’raf:34). Jika panggilan shalat dan haji membutuhkan syarat dan ketentuan, maka maut tidak butuh syarat apapun, siap atau tidak siap pasti malaikat maut mengeksekusi perintah Allah SWT.
Karenanya tugas kita ummat manusia–termasuk jin– tidak lain ialah beribadah secara totalitas kepada Allah SWT (QS. Az-Zariyat:56).
Perlu kita tanamkan dalam hati dan pikiran kita ketika akan mengeksekusi amal perbuatan apakah amal kebaikan atau keburukan baik yang berdimensi individual maupun sosial, ingatkanlah diri sendiri jangan-jangan ini adalah kesempatan terahir?, sehingga seseorang akan berkomitmen untuk tidak akan menunda amal kebaikan sampai besok, lusa atau nanti saja, dan tentu saja akan membatalkan niat amal buruknya.
Jika demikian insya Allah ketika kita kelak menghadap Allah SWT dalam keadaan husnul khatimah, karena seseorang akan diwafatkan dalam keadaan sebagaimana kebiasaannya. Wallahu a’lam bish-shawab.
*) Mahasiswa Program Doktor UIN Raden Intan Lampung, Dosen STIT Pringsewu dan UML
**********
Republika.co.id