Jakarta, Garut News ( Sabtu, 28/12 ).
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, membatalkan Kepres tentang pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim MK layak didukung.
Presiden sebaiknya menyiapkan pengganti Patrialis ketimbang mengajukan banding atas putusan PTUN.
Inilah momentum tepat kembali membenahi Mahkamah.
Dalam amar putusannya, majelis hakim PTUN menyatakan pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim MK oleh Presiden SBY pada Juli 2013 tak transparan, dan tidak partisipatif.
Mekanisme penunjukan mantan Menteri Hukum dan HAM itu, melanggar Perpu MK, yang disahkan menjadi Undang-Undang Mahkamah.
Undang-undang ini, mensyaratkan pencalonan hakim konstitusi kudu transparan dan partisipatif.
Pertimbangan hakim PTUN tepat.
Penunjukan Patrialis beda dengan tradisi penunjukan hakim MK sebelumnya.
Misalnya pada periode kepengurusan tahap dua Mahkamah, antara 2008 dan 2013.
Saat itu Presiden menunjuk Adnan Buyung Nasution, anggota Dewan Pertimbangan Presiden, membentuk komisi pemilihan.
Komisi kemudian menggelar fit and proper test, lalu terpilih tiga nama hakim: Abdul Mukti Fadjar, Maria Farida Indrati, dan Achmad Sodiki.
Presiden memang bisa mengajukan banding atas putusan itu.
Namun, apabila hal ini dilakukan, Presiden tak konsisten dengan semangat Undang-Undang Mahkamah berasal dari Perpu MK ia ajukan.
Presiden semestinya tak lupa, dialah merancang perpu itu agar hakim konstitusi bukan anggota parpol minimal selama tujuh tahun, dan proses seleksi berlangsung transparan melalui panel ahli.
Patrialis tak memenuhi syarat itu.
Saat diangkat sebagai hakim, dia masih anggota partai.
Pemilihannya pun tak transparan.
Ini artinya, jika Presiden mengajukan banding, dia mengkhianati semangat Undang-Undang Mahkamah.
Patrialis pun sebaiknya sadar diri, tak perlu banding.
Alasan, dia kudu banding demi wibawa Mahkamah mengada-ada.
Wibawa Mahkamah dimulai dari para hakimnya.
Mereka tak hanya kudu bersih, tetapi juga kudu ditunjuk melalui mekanisme sesuai undang-undang.
Inilah cara menjaga wibawa Mahkamah.
Bahkan sepantasnya Patrialis dinonaktifkan dulu sampai putusan pembatalan berkekuatan hukum.
Memang muncul persoalan kekurangan hakim.
Putusan PTUN itu juga membatalkan pengangkatan hakim Maria Indrati.
Ditambah dipecatnya Akil Mochtar, lalu hakim Harjono akan pensiun, apabila Patrialis dinonaktifkan, hakim tersisa tinggal lima.
Padahal UU Mahkamah mensyaratkan majelis bersidang dengan hakim minimal tujuh.
Situasi inilah kudu segera diatasi.
Presiden, DPR, dan MA kudu mengajukan nama-nama baru mengisi kekosongan itu.
Inilah kesempatan mengisi Mahkamah dengan orang-orang berintegritas dan kompeten, melalui proses seleksi disempurnakan sesuai Undang-Undang Mahkamah.
***** Opini/Tempo.co