Keniscayaan Pemberhentian Gubernur Ahok

Keniscayaan Pemberhentian Gubernur Ahok

762
0
SHARE
Ilustrasi. Presiden RI Ketika Lintasi Jembatan Cimanuk Garut, Jabar.

Hendra Nurtjahjo
Anggota Ombudsman Republik Indonesia 2011-2016

Garut News ( Senin, 20/02 – 2017 ).

Ilustrasi. Presiden RI Ketika Lintasi Jembatan Cimanuk Garut, Jabar.
Ilustrasi. Presiden RI Ketika Lintasi Jembatan Cimanuk Garut, Jabar.

Masa cuti kampanye, yang memiliki konsekuensi status nonaktif kepala daerah yang dijabat oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, telah berakhir pada 11 Februari 2017. Maka, Ahok sudah dapat aktif kembali sebagai gubernur pada 12 Februari 2017. Namun Ahok kini telah menyandang status sebagai terdakwa dalam kasus hukum pidana penodaan agama.

Status terdakwa ini membawa konsekuensi hukum pemberhentian Ahok dari jabatan Gubernur DKI. Ini yang harus ditegakkan oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan. Tanggung jawab konstitusional pemberhentian gubernur ini merupakan suatu conditio sine qua non, kondisi yang mengharuskan Presiden mau tidak mau memberhentikan Ahok.

Pasal 83 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah-belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Berkenaan dengan hal tersebut, timbul sejumlah pertanyaan hukum. Pertama, apakah Presiden dan Menteri Dalam Negeri dapat memperpanjang masa cuti Ahok sebagai gubernur nonaktif? Jawabnya tidak, karena empat hal. Pertama, ketentuan masa cuti kampanye telah berakhir. Kedua, tidak ada lagi istilah perpanjangan masa cuti karena kampanye telah berakhir. Ketiga, status nonaktif dalam alasan perpanjangan cuti tidak dapat dibenarkan secara hukum. Keempat, status nonaktif dapat diberlakukan kembali, tapi harus dengan dasar hukum yang berbeda, yaitu Pasal 83 (1) Undang-Undang Pemerintahan Daerah tentang pemberhentian kepala daerah dengan status terdakwa.

Kedua, apakah Presiden dan Menteri harus menunggu tuntutan jaksa atau usul dari DPRD untuk menonaktifkan Ahok? Pasal 83 membebankan kewajiban untuk memberhentikan itu kepada Presiden, bukan kepada Menteri.

Pemberhentian ini merupakan pemberhentian sementara, bukan tetap. Pemberhentian tetap oleh Presiden hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dari pengadilan. Pemberhentian sementara ini tidak perlu menunggu usul dari DPRD DKI Jakarta.

Pemberhentian ini juga tidak perlu menunggu pemberitahuan atau tuntutan dari Jaksa Agung atau jaksa penuntut umum. Pasal 83 tidak menyebut dan tidak mensyaratkan adanya “tuntutan jaksa penuntut umum”, melainkan “kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun”. Apakah jaksa akan menuntut di bawah atau di atas 5 tahun adalah persoalan lain yang sama sekali tidak menjadi syarat dari Pasal 83.

Ketiga, apakah Presiden boleh mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dengan alasan subyektif tertentu? Peraturan itu dapat dikeluarkan karena adanya kegentingan memaksa. Dalam konteks kasus ini, sama sekali tidak ada keadaan yang dapat dinilai secara subyektif oleh Presiden sebagai suatu keadaan darurat.

Keempat, apakah penonaktifan kepala daerah tersebut merupakan tindakan maladministrasi? Ombudsman memiliki kewajiban hukum dan moral untuk mengingatkan lembaga-lembaga negara untuk menegakkan hukum secara tegas dan nondiskriminatif.

Beberapa kepala daerah yang telah terkena ketentuan hukum pemberhentian tersebut merupakan preseden yang harus dilaksanakan oleh lembaga negara terkait. Penafsiran dan perlakuan yang berbeda atas kasus ini adalah tindakan diskriminasi hukum yang, dalam perspektif Ombudsman, adalah tindak maladministrasi.

Kelima, adakah implikasi hukum serius apabila Presiden tidak menonaktifkan Ahok? Apabila Presiden tidak mematuhi hukum atau memberlakukan hukum secara berbeda dalam suatu kasus, maka hal ini merupakan pelanggaran sumpah jabatan dan akan berimplikasi yuridis serius dalam perspektif hukum tata negara.

Ringkasnya, apabila Presiden Jokowi tidak memberhentikan Ahok sebagai Gubernur DKI, hanya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, proses pemakzulan akan bergulir sebagai proses hukum tata negara.

Langkah ini bergantung pada konstelasi politik di DPR. Kedua, terbukanya alasan politik untuk terjadinya gerakan sosial yang menuntut Presiden untuk mundur dari jabatan atau softly movement agar Presiden menegakkan hukum secara adil.

Kedua kemungkinan itu akan selalu memunculkan instabilitas politik dan memicu munculnya kerusuhan sosial yang luas. Situasi ini rentan terhadap intervensi kekuatan asing yang memiliki kepentingan ideologi dan kapital dalam menguasai dan mengkooptasi kedaulatan NKRI.

Hal inilah yang harus kita cegah melalui proses hukum yang adil dan beradab.

********

Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY