Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Jum’at, 27/01 – 2017 ).
Seperti tak pernah jera, pelaku kekerasan di lingkungan kampus terus mengulang perbuatannya. Berbalut kegiatan ekstrakurikuler dan “spirit” senior lebih berkuasa ketimbang junior, kekerasan yang berujung hilangnya nyawa manusia terjadi setiap tahunâdan seolah menjadi peristiwa rutin.
Dua mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta tewas setelah mengikuti pelatihan pencinta alam di Gunung Lawu pada pekan lalu. Syaits Asyam dan Muhammad Fadli meninggal diduga karena disiksa para seniornya saat menjalani pelatihan. Sebelumnya, pada 10 Januari lalu, Amirullah Adityas Putra, taruna tingkat I Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Jakarta, tewas karena dianiaya. Dua kejadian ini menambah panjang daftar kekerasan di kampus yang berujung kematian.
Pemerintah semestinya membuat kebijakan yang tegas untuk mengantisipasi terus terjadinya kekerasan di kampus. Telah terbukti bahwa aturan yang sudah ada, seperti Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 38 Tahun 2000 yang melarang perpeloncoan, tidak bisa mencegah berulangnya peristiwa kekerasan di kampus.
Aturan itu seperti senapan tanpa peluru karena tak mencantumkan sanksi. Walhasil, kegiatan yang penuh mudarat itu masih menjamur.
Program orientasi atau pengenalan cara belajar di kampus sebetulnya wajar saja dilakukan. Mahasiswa baru butuh beradaptasi dengan cara belajar baru, bagaimana berinteraksi dengan dosen pengajar, atau mencari bahan di perpustakaan.
Namun, yang sering terjadi, masa orientasi lebih banyak digelar dalam bentuk kegiatan pelatihan ala militer dan menjadi ajang pelampiasan kekerasan para senior terhadap junior.
Mahasiswa senior juga kerap memperlakukan mahasiswa baru sebagai obyek penderita. Mereka mencekoki mahasiswa baru dengan kegiatan yang tak berkaitan dengan proses belajar. Menirukan adegan film porno, misalnya, jelas bukan aktivitas yang mendidik. Program orientasi model inilah yang semestinya dilarang total.
Pemerintah harus merevisi aturan tersebut dan mencantumkan sanksi keras. Harus dipahami, menggunakan kekerasan untuk menyakiti orang dengan sengaja merupakan kejahatan penganiayaan.
Membuat acara atau menciptakan keadaan sehingga penganiayaan bisa dilakukan disebut sebagai penganiayaan berencana, yang bisa diancam hukuman lebih berat. Apalagi kalau menimbulkan cedera atau mengakibatkan kematian.
Melihat kejadian dan sanksi yang diberikan hanya melulu dikenakan terhadap mahasiswa yang melakukan, perlu dipertimbangkan memperluas hukuman. Mengingat kegiatan perpeloncoan dan ekstrakurikuler diketahui dan mendapat izin universitas, dosen dan rektor juga harus turut dimintai pertanggungjawaban.
Satu jenis lain sanksi bisa berupa penurunan status akreditasi perguruan tinggi itu. Dengan cara ini, rektor akan lebih serius mengawasi kegiatan di kampus yang berpotensi menimbulkan kekerasan.
*********
Opini Tempo.co