Kegalauan STIP

Kegalauan STIP

932
0
SHARE

Darmaningtyas,
Pengamat Pendidikan

Garut News ( Senin, 05/05 – 2014 ).

Ilustrasi. (Foto : John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. (Foto : John Doddy Hidayat).

Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) merasa galau pasca-kasus meninggalnya taruna Dimas Dimika Handoko yang dianiaya oleh seniornya.

Hal itu tidak terlepas dari respons keras masyarakat, termasuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh, yang berencana menutup dua program studi (Nautika dan Teknika) yang tarunanya terlibat tindak kekerasan selama 2 tahun untuk memutus rantai kekerasan.

Dilihat dari strategi pemutusan rantai kekerasan, rencana penutupan tersebut dapat dipahami, karena mungkin dengan cara itu ada jarak yang jauh antara senior dan junior sehingga sulit bagi senior untuk intervensi.

Tapi ini sifatnya juga masih hipotesis.

Dalam arti, apakah setelah siklus tersebut diputus, dijamin tidak ada kekerasan lagi di masa mendatang?

Di sisi lain, dilihat dari perspektif kebutuhan tenaga kemaritiman, rencana penutupan tersebut menimbulkan banyak konsekuensi, misalnya updating (pemutakhiran pengetahuan sesuai dengan amendemen STCW 95 ke SCTW Manila 2010) menjadi terlambat, penyediaan tenaga pelaut maupun penyiapan instruktur (guru dan dosen) terhambat, serta MOA dengan lembaga pendidikan dan latihan maritim swasta secara otomatis gugur karena STIP sendiri tidak aktif.

Dua kutub kepentingan ini sulit untuk dipertemukan karena masing-masing memiliki argumen yang sama-sama kuat.

Argumen Kemdikbud menutup sementara untuk memupus rantai senior-junior dapat diterima akal sehat.

Kemdikbud perlu mengambil langkah tersebut, mengingat kematian taruna junior oleh senior di STIP itu bukan terjadi sekali ini saja, tapi sebelumnya pernah terjadi hal yang sama.

Sebaliknya, kegalauan STIP dan Kementerian Perhubungan bila dua prodinya ditutup minimal 2 tahun akan mengganggu proses penyediaan tenaga-tenaga pelaut yang andal.

Dengan ditutupnya prodi Nautika dan Teknika, berarti kebutuhan pelaut yang tesertifikasi makin sulit terpenuhi karena STIP tidak bisa menerima taruna dalam jumlah banyak.

Sampai saat ini kebutuhan nasional akan pelaut yang tesertifikasi lebih dari 500 ribu orang, sehingga terpaksa dicukupi oleh pelaut-pelaut dari luar, seperti Myanmar atau Filipina.

Kecuali itu, pada saat ini Indonesia sudah mendapatkan white list dari IMO, yaitu Organisasi Maritim Internasional, dan salah satunya yang dilaporkan adalah STIP.

Apabila dua prodi STIP ditutup oleh Kemdikbud untuk sementara, berarti white list tersebut akan ditinjau ulang.

Dengan kata lain, rencana penutupan tersebut memiliki dampak luas berkaitan dengan posisi Indonesia di IMO, sekaligus terhadap pemenuhan kebutuhan tenaga pelaut yang tesertifikasi.

Persoalannya menjadi lebih luas lagi bila dikaitkan dengan dimulainya Masyarakat ASEAN 2015, di mana tenaga-tenaga asing dari ASEAN bebas bekerja di Indonesia, sementara Indonesia sebagai negara kelautan justru tidak memiliki pelaut yang terdidik.

Tapi, di sisi lain, kekerasan dalam dunia pendidikan, apalagi membawa kematian, tidak boleh ditoleransi.

Antara Kemdikbud dan pengelola sekolah-sekolah kedinasan, termasuk STIP, perlu duduk bersama secara intens untuk menemukan solusi terbaik dalam memutus rantai kekerasan senior terhadap junior tanpa harus mengorbankan kepentingan bangsa yang lebih luas. *

******

Opini/Tempo.co

SHARE
Previous articleOJK dan Investasi Bodong
Next articleWakil Presiden

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY