IGG Maha Adi
Pegiat Ekoliterasi
Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Kamis, 23/02 – 2017 ).
Dalam literatur pembangunan, kategori kemakmuran negara dibagi menjadi dua: maju dan berkembang, dengan beberapa variannya. Stratifikasi ini juga banyak diyakini para ahli dapat menggambarkan tingkat kebahagiaan penduduk sebuah negara. Namun, dalam teori dampak lingkungan, kemakmuran yang tinggi justru menjadi determinan pokok kerusakan lingkungan hidup.
Pada dekade 1960-an, Leopold Kohr, aktivis dan ilmuwan sosial Austria, menawarkan kategori yang cukup radikal terhadap stratifikasi kemakmuran, yaitu negara-negara yang mengalami kecanduan pembangunan (overdeveloped countries). Terminologi ini umumnya dipakai dalam memahami fenomena pembangunan yang berlebihan tanpa mempertimbangkan daya dukung ekologisnya. Negara pecandu ini terus mengejar pertumbuhan tanpa batas dan memaksa seluruh komponennya untuk memenuhi ambisi itu.
Kategori Kohr juga biasa dipakai untuk menyebut gejala yang sama pada tingkat kota, yang pertumbuhannya cenderung kosmopolitan. Kota Jakarta, Bandung, dan Denpasar adalah tiga kota yang menunjukkan gejala sama.
Salah satu ciri fisik yang menonjol pada kota yang mengalami kecanduan pembangunan adalah pembangunan lahan yasan (real estate) dan fasilitas pendukungnya secara masif serta munculnya gejala kecanduan belanja (hyperconsumption) pada barang-barang nonfungsional.
Belanja nonfungsional adalah belanja untuk prestise dan identitas diri melalui kepemilikan atas barang-barang bernilai kebaruan tinggi. Kondisi ini menyebabkan konsumen terus mengganti barangnya dengan model terbaru, canggih, eksklusif, dan tentu saja lebih mahal serta sering berganti dalam waktu yang sangat singkat, seperti mode busana, gawai, atau kendaraan bermotor.
Dalam masyarakat yang mencandu belanja, setiap pengalaman sosial dimediasi mekanisme pasar. Sebagian kegiatan masyarakat berpusat atau berpindah ke dalam pusat belanja. Kota Jakarta memiliki 177 pusat belanja dan di lokasi lain terus berlangsung pembangunan apartemen, hotel, mal, jalan tol, dan reklamasi.
Namun data keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan terhadap ruang, infrastruktur, dan fasilitas kota itu tidak pernah dikaji secara kritis. Izin reklamasi Teluk Jakarta tahun 1995, misalnya, jelas bukan direncanakan sebagai solusi atas persoalan lingkungan hidup.
Proyek ini semata-mata ingin menangguk untung dari pembangunan rumah mewah di atas ekosistem laut. Kota Jakarta pun dipaksa tunduk kepada kebutuhan kelompok kaya dan superkaya yang jumlahnya sekitar 20 persen saja dari seluruh penduduk.
Akibat dari kecanduan pembangunan adalah bertambahnya produksi limbah, peningkatan penggunaan energi dan emisi kendaraan, kenaikan harga tanah serta rumah, dan sebagainya. Dampaknya terhadap kelompok miskin perkotaan adalah berkurangnya tabungan dari pendapatan karena meningkatnya pengeluaran untuk kesehatan, pangan, energi, air bersih, rumah, dan lain-lain.
Kecanduan pembangunan bukan jalan keluar dari masalah yang dialami berbagai kota, termasuk Jakarta. Kemacetan, banjir, pertumbuhan penduduk yang tinggi, sanitasi, sampah, kemiskinan, dan, tentu saja, pemerataan kesejahteraan menjadi persoalan Jakarta sejak puluhan tahun lalu sampai hari ini.
Data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta memaparkan rasio Gini yang menunjukkan kesenjangan kaya-miskin selama periode 2012-2015 melebar, dari 0,42 ke 0,46. Pada 2015, hanya 20 persen penduduk Jakarta yang menikmati peningkatan pendapatan yang tinggi.
Sisanya, sebanyak 80 persen, justru menurun. Publikasi Sustainable Cities Index, yang diterbitkan Arcadis pada 2016, menunjukkan Jakarta berada di peringkat ke-88 dari 100 kota besar di dunia yang dikelola secara berkelanjutan.
Pembangunan juga berkaitan dengan kebahagiaan. Dunia mengenal Paradoks Easterlin, yang menjelaskan anomali hubungan antara pendapatan tinggi dan kebahagiaan. Mengapa kebahagiaan menjadi determinan penting dalam pembangunan?
Perasaan bahagia berkaitan erat dengan banyak hal, termasuk modal sosial, seperti kepercayaan. Ekonom Jeffrey Sachs menyatakan, penduduk yang mempercayai pemerintah, pengusaha, dan sesamanya akan membuat mereka bertahan lebih kuat dalam krisis dan mampu mencari solusi.
Kebahagiaan juga mendorong produktivitas dan dukungan kepada program pembangunan. Penduduk yang tidak bahagia akan kontraproduktif untuk pembangunan. Jika rasio gini dan SCI disimpulkan, penduduk Kota Jakarta adalah salah satu yang paling tidak berbahagia di dunia.
Menghitung daya dukung kota adalah salah satu jalan keluar dari kecanduan pembangunan. Kota yang dibangun tanpa memperhitungkan daya dukungnya cenderung tumbuh melewati batas (overshoot). Dalam situasi ini, kebahagiaan penduduk Jakarta menuju kepunahan.
**********
Tempo.co