Kebersamaan yang Sekejap Mata

Kebersamaan yang Sekejap Mata

912
0
SHARE
Asma Nadia. (Daan Yahya/Republika).

Sabtu , 06 May 2017, 06:00 WIB

Red: Maman Sudiaman

Asma Nadia. (Daan Yahya/Republika).
Asma Nadia. (Daan Yahya/Republika).

REPUBLIKA.CO.ID, “Bunda, hari ini Salsa kosong, makan siang bareng, yuk!” Menatap putri sulung saya yang memasuki usia dua puluh satu tahun, hati saya berdetak. Ah, cepat sekali dunia berputar.

Tanpa terasa anak-anak tumbuh dewasa dan mempunyai kesibukan masing-masing. Jika bertahun lalu para orang tua, tidak memiliki banyak waktu karena pekerjaan, kini sebaliknya, anak-anak disibukkan studi dan berbagai kegiatan, ketika orang tua punya cukup waktu luang. Dulu, mereka harus menyesuaikan acara keluarga dengan jadwal orang tua. Setelah anak beranjak dewasa, orang tua mulai menyesuaikan diri dengan aktivitas anak.

Rumah terasa sepi. Khususnya bagi kami yang makin sulit bertemu dua ananda. Satu tinggal di kosan dekat kampus, sementara seorang lagi tengah menempuh studi di luar. Seminggu sekali bisa berjumpa -setidaknya salah satu di antara mereka- merupakan kebahagiaan yang sangat disyukuri.

Saya ingat ketika Salsa dan Adam masih kecil, ayahnya bekerja sebagai wartawan di media asing setelah usaha kecil-kecilan tutup akibat krisis moneter 1998. Setiap pukul tujuh pagi, ayah harus berangkat dari Depok ke Jakarta dan baru tiba kembali di rumah lewat sembilan malam. Jika ingin bermain dengan ayah, anak-anak harus terjaga sampai agak larut. Bahkan Sabtu Ahad, tidak ada jaminan waktu keluarga, karena pekerjaan sang ayah yang tidak mengenal libur, sebab mengikuti tuntutan berita.

Untungnya sebagai penulis, saya mempunyai pekerjaan yang tidak mengikat waktu, sehingga mampu lebih hadir dan mendampingi tumbuh kembang kedua buah hati. Bukan kebetulan sebenarnya. Sejak awal saya dan suami sudah punya kesepakatan pembagian tugas. Suami mencari nafkah, sementara istri boleh menghasilkan uang tambahan asalkan tidak meninggalkan rumah. Tambahan motivasi bagi saya, untuk semakin fokus pada profesi penulis.

Kepada teman-teman perempuan seusia, sesama pasangan muda, saat itu tak jarang saya mendorong mereka untuk berpenghasilan tanpa perlu meninggalkan rumah. Tidak mudah, karena sebagian sudah terikat dunia kerja, sekadar usulan mungkin mereka pelan-pelan bisa membangun keranjang penghasilan alternatif yang lebih fleksibel secara waktu dan tempat. Banyak ruang yang memungkinkan untuk dijajaki. Sebagai editor, penerjemah, konsultan, guru privat, membuat kerajinan, atau membuka usaha di rumah.

Sekarang dengan perkembangan internet yang begitu pesat, semakin banyak pilihan bagi kaum ibu untuk berpenghasilan dari rumah. Sederhananya, berjualan online. Bukan hal mustahil pula jika para ibu rumah tangga mampu meraup pundi-pundi rupiah dengan menjadi blogger maupun vlogger.

Seiring berjalan waktu, suami tidak merasa nyaman selalu bepergian tanpa punya banyak momen dengan keluarga, sehingga ia mencoba membangun kesiapan sebelum akhirnya memutuskan berhenti dari kantor. Di awal-awal terasa berat. Berbagai hal dikerjakan. Mulai dari menjalankan bisnis MLM, menulis buku, serta membangun usaha. Hingga akhirnya bisnis yang dirintis mulai menggeliat, memberikan tidak hanya kemandirian finansial namun juga waktu lebih leluasa. Kami berdua bisa dikatakan, siap mengikuti kegiatan anak-anak tanpa harus menunggu akhir pekan.

Tapi, hal ini tidak berlangsung lama, sebab ketika waktu tersedia, anak-anak mulai memasuki usia remaja, cukup sibuk dengan sekolah dan punya kegiatan sendiri. Puncaknya saat mereka menjelang dewasa apalagi terentang jarak, semakin sulit berkumpul lengkap sekeluarga.

Siklus serupa terjadi hampir di setiap keluarga. Rata-rata pengantin muda yang memiliki anak kecil -terutama di perkotaan- dan mengembangkan karier sebagai pegawai, sedang keras-kerasnya membangun ekonomi rumah tangga.

Ketika mulai sukses, posisi mapan, sekaligus punya kemerdekaan waktu, anak-anak sudah beranjak besar dan situasi berbalik, giliran putra putri kita didera kesibukan.

Ya, ada masa ketika anak-anak membutuhkan orang tua, namun sosok ayah dan bunda justru tidak punya banyak waktu. Sebaliknya, ketika akhirnya waktu berada dalam genggaman, anak-anak ternyata sudah dibelit kesibukan, tidak lagi bergantung pada ayah bunda.

Kebersamaan intens dengan mereka saat masih kecil, seolah hanya sekejap mata. Saat kesadaran ini menyentuh, percayalah, tidak peduli berapa banyak waktu telah kita habiskan bersama mereka, pasti akan terasa kurang.

Agar tak terselip banyak sesal, selagi masih ada waktu, semoga mampu kita manfaatkan. Tidak ada pilihan lain-sesibuk apa pun- luangkan waktu maksimal untuk ananda. Jika anak ingin bermain dengan orang tua tapi diabaikan, mereka akan menemukan cara menikmati hidup tanpa keberadaan orang tua. Saat anak butuh curhat dan orang tua tidak mengacuhkan, kelak mereka berjumpa pihak lain sebagai tempat bersandar. Jika dibiarkan, tidak mustahil akhirnya jejak orang tua pupus sempurna dari hati ananda.

Sekelumit tulisan ini mudah-mudahan menambah motivasi dan energi sabar bagi para pasangan muda yang mempunyai anak kecil. Saat putra putri merengek minta ditemani, minta diperhatikan, mengajak bermain, meski kita kelelahan, tersenyumlah. Syukuri kenyataan, ananda masih membutuhkan kita. Maksimalkan, agar setiap kejap kebersamaan menjadi momen indah yang mengisi album kenangan di hati ayah, bunda, dan ananda, selamanya.

***********

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY