“Mantapkan Pengelolaan Kawasan Konservasi”
Esay/Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Jum’at, 05/05 – 2017 ).
Monumenalnya kegagahan Banteng Jawa (Bos javanicus) pada habitatnya “Leuweung” atawa hutan Sancang di Cibalong Garut, Jawa Barat, ternyata hingga kini masih menyisakan kenangan bahkan “misteri” apakah “ikon” tersebut masih ada, atau raib ditelan bumi….?
Walahualam bi sawab.
Koordinator Tim Gugus Tugas Evakuasi dan Penyelamatan ‘Tumbuhan dan Satwa Liar’ (TSL) pada ‘Seksi Konservasi Wilayah” (Siwil) V Bidwal III BBKSDA Jawa Barat Sepdi Hendayana katakan, pihaknya bakal menggagendakan jalinan kerjasama dengan kalangan pemerhati lingkungan (NGO).
Sehingga diharapkan bisa diselenggarakannya kegiatan inventarisasi bahkan penelitian mengenai masih ada, maupun telah punahnya jenis satwa tersebut di Leuweung Sancang.
“Namun masih dipastikan pada kawasan hutan itu, hingga kini antara lain masih terdapat macan tutul, primata owa, ragam jenis burung termasuk burung merak, serta rusa” katanya kepada Garut News, Jum’at (05/05-2017) sore.
Dalam pada itu, “Sangat monumenal dan masih terekam kuat dalam ingatan, ketika Rombongan Banteng Sancang berjumlah sekitar 40 ekor berkumpul, dan merumput di Padang Penggembalaan Cipalawa,” ungkap Rukanda, pria kini berusia 54 tahun ketika ditemui, Senin (23/02-2015) silam.
Fenomena ini, kerap disaksikannya dengan teropong dari menara pemantau berketinggian empat meter.
Biasanya berlangsung pada sekitar pukul 07.00 WIB, kemudian sore harinya pada Pukul 16.00 atawa Pukul 17.00 WIB.
Rata-rata selama satu jam rombongan Banteng Sancang tersebut merumput, kemudian mereka membubarkan diri melintasi di bawah padang ilalang, maupun semak belukar, katanya pula.
Bahkan Rukanda juga menuturkan, bersama peneliti dari UPI Bandung pernah menemukan seekor anak Banteng Sancang terkapar mati, langsung diukur sepanjang satu meter. Namun beberapa jam kemudian setelah kembali ke TKP, bangkainya tak ada lagi.
Menyusul di kawasan leuweung itu, terdapat pula populasi macan kumbang, macan tutul juga antara lain babi hutan, kata dia.
Dikemukakan, jika merasa terganggu, banteng lari mengejar yang terlebih dahulu diawali menegakkan kepala ke atas, dan mengangkat kaki depan kanan. Tetapi lintasan larinya letter “U”, kemudian kembali ke arah semula.
Rukanda juga bersama kalangan peneliti, acap menebar garam di atas hamparan padang penggembalaan, dipastikan satu jam kemudian rombongan Banteng berdatangan merumput.
Kemudian bisa jelas disaksikan dari atas menara pengawas, dengan jarak pandang sejauh 50 meter hingga 100 meter.
Diperkirakan pupulasinya mencapai 50 ekor, namun itu pada kurun waktu tahun 1984 hingga 1987, ketika Rukanda mengemban tugas sebagai Polhut di Leuweung Sancang. Ketika itu pula, Rukanda masih lajang pada usia sekitar 21 tahun, dan kini telah dikaruniai empat anak.
Monumenalnya Banteng Leuweung Sancang masih terekam kuat di dalam ingatannya, meski pasca bertugas di Sancang, Rukanda antara lain bertugas di Pangandaran. Kemudian Ujung Kulon juga pada Taman Nasional Baluran, Banyuwangi, Jawa Timur.
Masihkah kini populasi Banteng Sancang mudah ditemui, atawa telah punah, inilah yang juga masih menyisakan misteri.
Cagar Alam Leuweung Sancang luasnya mencapai sekitar 2.1313,90 hektare, serta cagar Alam Lautnya sekitar 1.150 hektare.
Selain terkenal dengan pohon kaboa (dipteroearpus gracilis), ikon tanaman hutan Sancang, di kawasan konservasi tersebut, terdapat tanaman langka meranti merah (anisoptera) raksasa berukuran lingkaran batang pohon sekitar 300 centimeter, berketinggian sekitar 27 meter.
Pohon berusia ratusan tahun ini, tercatat satu-satunya meranti merah tumbuh di pulau Jawa.
Uniknya, selain satu-satunya meranti merah tumbuh di pulau Jawa, meranti merah di Sancang tersebut, juga sulit dibudidayakan.
Beragam cara diupayakan dikembangkan, tetapi tak pernah berhasil. Para peneliti kebingungan. Padahal jenisnya sama dengan meranti merah di Kalimantan, atawa family anisoptera. Pada sekeliling pohon ini, dipasang pagar pengaman berbahan besi.
Menariknya lagi, pada kanan kiri meranti merah berdiri pohon palahlar (dipterocarpus spee.div) juga berukuran besar. Namun tak sebesar meranti merah.
“Mantapkan Pengelolaan Kawasan Konservasi”
PLH Kepala Seksi Konservasi Wilayah V Garut pada Balai Besar KSDA Jabar, Gede Darma Putra Wirawan mengemukakan, jajarannya kini memantapkan pengelolaan kawasan konservasi di Kabupaten Garut seluas 18.989 hektare.
Dengan menyusun dokumen-dokumen perencanaan pengawasan, terdiri melengkapi dokumen Tata Blok yang berlaku sepuluh tahun namun habis masa berlakunya.
Kemudian penegakan hukum, meliputi memprioritaskan upaya-upaya persuasif, pencegahan, pembinaan, sosialisasi, serta dialog dengan masyarakat mengenai banyak hal kawasan.
Lantaran ada aturan berupa Undang-undang RI Tahun 1990 Tentang Konservasi SDAE, juga Undang-undang RI Nomor 41/1999 Tentang Kehutanan dengan ratusan peraturan turunannya.
Terdiri Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri kemudian disosialisasikan banyak hal teknis yang harus diketahui, demikian juga tentang perlindungan tumbuhan, dan satwa liar yang dilindungi.
Disosialisasikan pula tentang pengawetan tumbuhan dan satwa liar, termasuk daftar lampiran ragam jenis tumbuhan, serta satwa liar dilindungi Undang-undang RI.
Terkait penegakan hukum peredaran satwa liar, dibentuk satuan tugas “Tim Gugus Tugas Penyelamat Tumbuhan dan Satwa Liar” yang dilindungi.
Kepada masyarakat diimbau, bagi yang masih memelihara, memiliki, dan memerdagangkan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi, agar segera menyerahkannya secara sukarela kepada negara melalui BKSDA, sehingga ke depan diharapkan tak ada lagi yang memeliharanya.
Maka ditargetkan, habitat satwa bisa terjaga, juga populasinya, sehingga kita harapkan pula bisa diminimalisirnya aktivitas perburuan, imbuh Gede Darma Putra Wirawan.
******