Keanekaragaman Hayati Modal Bangsa

Keanekaragaman Hayati Modal Bangsa

757
0
SHARE

Fachruddin Mangunjaya, Dosen Universitas Nasional

Garut News ( Rabu, 18/12 ).

Ilustrasi. (Foto : John).
Ilustrasi. (Foto : John).

Hingga beberapa dekade terakhir, Indonesia sangat menggantungkan hasil-hasil alam yang kebanyakan bertumpu pada mineral dan hutan alam.

Kini, apakah bangsa ini mempunyai skenario lain untuk memanen hasil bila sumber daya tersebut telah habis terkuras?

Tidak dapat dimungkiri bahwa bagi bangsa Indonesia sesungguhnya keanekaragaman hayati (kehati) bukanlah sesuatu yang asing karena sebagian besar dari kegiatan pokok dan kebutuhan penduduk semuanya bergantung pada keutuhan dan pemanfaatan kehati.

Manfaat kehati biasanya terkemas dalam keanekaragaman kehidupan, baik pada tingkatan ekosistem yang terdiri atas aktivitas kompleks makhluk hidup yang berinteraksi, yang menciptakan sistem yang seimbang dan harmonis, maupun pada keunikan populasi ataupun individu dari berbagai spesies dan genetik yang memunculkan peran masing-masing.

Kawasan pertanian dan perkebunan sangat bergantung pada apa yang disebut dengan jasa ekosistem (ecosystem services), yaitu pelayanan yang dilakukan ekosistem untuk menghasilkan jasa berupa produk yang tidak tergantikan oleh tangan manusia.

Misalnya penyangga abrasi (pantai), mencegah timbulnya erosi, regulasi iklim, penyerap karbon, pemurnian air supaya menjadi bersih, habitat satwa dan penyedia biji-bijian, serta produk kayu dan bukan kayu.

Tidak dapat dibayangkan bila lahan pertanian tanpa dukungan ekosistem alam yang baik.

Selama ini, air bersih yang menjadi produk ekosistem selalu tersedia secara gratis untuk mengairi sawah dan kebun, sehingga tumbuh subur.

Bandingkan dengan masyarakat di Timur Tengah, misalnya sebuah kota baru, Sabiya di Kuwait, yang harus mengeluarkan Rp 5 triliun pada 1999 hanya untuk mendapatkan air bersih setelah dibangun delapan tahun dari proses desalinasi air laut yang berproduksi  83 juta meter kubik per tahun.

Ekosistem juga memelihara siklus hara dan lahan, sehingga menjadi tetap produktif dan subur karena mikroba tanah yang mampu mendorong suplai nitrogen dan memperkaya nutrisi tumbuhan.

Dalam keadaan tertentu, lahan-lahan yang tidak subur akan terbantu dengan keadaan mikroba yang mampu mengikat nutrisi, seperti nitrogen yang ada di dalam tanah.

Cacing tanah berperan dalam mencerna serasah, mempercepat pembusukan, dan menciptakan pupuk bagi tumbuhan.

Indonesia adalah salah satu negara penanda tangan Konvensi PBB untuk Kehati (UNCBD), yaitu konvensi dunia yang bertujuan mempertahankan keanekaragaman kehidupan di planet bumi dan pemanfaatannya secara berkelanjutan.

Konvensi tersebut dibuat berdasarkan kesadaran tentang pentingnya keanekaragaman kehidupan dalam proses evolusi serta mendukung terpeliharanya sistem keseimbangan pada biosfer bumi.

Ironisnya, di tengah pengakuan PBB tentang pentingnya kehati ini, apa yang terjadi hari ini, kebijakan pembangunan tampaknya belum bertumpu pada kesadaran tentang pentingnya kehati di tengah masyarakat.

Kawasan-kawasan cadang yang menjadi aset sumber daya manfaat yang langsung dirasakan seperti kawasan yang mempunyai nilai kehati penting, misalnya hutan lindung dan hutan konservasi, terus mendapat ancaman pengurangan, bahkan  konversi.

Selain itu, beberapa kawasan tersebut  tidak terjaga dengan baik dan bahkan banyak mengalami perambahan.

Tampaknya, intergrasi kebijakan untuk menyelamatkan kehati dalam kebijakan pembangunan (meanstreaming)  belum  dapat diimplementasikan karena kerakusan akan penguasaan lahan dan yang terhubung dengan ekonomi kapitalistik.

Kebijakan sektoral yang tidak koordinatif menjadi salah satu pemicu penting.

Penguasa lahan di Indonesia didominasi oleh pengguna izin dan kewenangan yang mengutamakan ekonomi dan mengesampingkan nilai sosial dan ekologis, termasuk penyelamatan hayati.

Tidak jarang kita jumpai konflik penggunaan lahan yang diakibatkan oleh kebijakan perizinan yang tanpa memikirkan jangka panjang, padahal upaya penghilangan dan konversi lahan, terutama untuk keperluan eksploitatif, adalah bertentangan dengan hajat kehidupan rakyat.

Di Bolaang Mangondow, Sulawesi Utara, Warga Poigar, warga menolak penambangan pasir di wilayah pantai dan laut desa mereka lantaran penambangan tersebut merusak lingkungan dan mengancam kehidupan ribuan nelayan yang mengandalkan hidup dari menangkap ikan.

Tidak banyak negara yang sangat kaya dengan kehati seperti dimiliki oleh Indonesia.

Dalam jumlah kekayaan hayati, Indonesia disebutkan oleh Mittermeier dkk (1997) merupakan negara dengan jumlah kehati terbesar kedua setelah Brasil.

Ekonomi hijau (green economy) yang  menjadi tren ekonomi masa datang akan bertumpu pada kekayaan hayati.

Nilai strategis kehati, seperti pilihan atas alternatif pangan, obat-obatan, dan jasa ekosistem, merupakan sektor yang sangat vital yang akan semakin langka di masa depan.

Maka, sudah saatnya Indonesia memandang potensi strategis ini sebagai modal penting pembangunan bangsa yang bukan saja harus dilindungi, tapi juga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.(*)

***** Kolom/artikel Tempo.co

SHARE
Previous articleMenyoal KTP Beragama
Next articleRendahnya Rasio Pajak

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY