Sabtu , 22 April 2017, 06:00 WIB
Red: Maman Sudiaman
Asma Nadia
REPUBLIKA.CO.ID, “Ada banyak wanita yang lebih layak dari Kartini. Cut Nyak Dhien atau Malahayati, misalnya.”
Saya hanya diam mendengar komentar seseorang saat sama-sama menyaksikan Helvy Tiana Rosa membacakan puisi berjudul “Perjumpaan Malam itu dengan Kartini”.
Alih-alih memperhatikan pembacaan puisi yang diambil dari buku terbaru Duka Sedalam Cinta, saya justru menunggu kalimat apa yang akan diutarakan lelaki itu untuk menjelaskan pernyataan sebelumnya.
“Cut Nyak Dhien benar-benar berjuang melawan penjajah. Ikut perang. Laksamana Malahayati malah memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee, para janda syuhada bertarung melawan armada dan benteng Belanda. Bahkan dengan tangan sendiri, menikam pemimpin Belanda Cornelis de Houtman hingga tewas dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal.”
Ia terus berbicara, dan saya menyimak. Menanti apa sebenarnya yang ingin disampaikan.
“Bahkan Dewi Sartika masih lebih pantas, setidaknya beliau mendirikan sekolah. Sedangkan Kartini, dia cuma menulis!”
Kalimat terakhir cukup menyentak, CUMA MENULIS.
Saya sangat bangga dengan Malahayati. Laksamana wanita pertama di dunia yang mengubah kesedihan dan kehilangan sebagai kekuatan. Ia membangkitkan para janda yang kehilangan suami, menjadi pejuang yang disegani.
Saya kagum dengan Cut Nyak Dhien, yang berjuang tak kenal lelah hingga kesehatannya terabaikan. Jika bukan karena pengkhianatan, ia akan tetap gigih menghadapi lawan. Pun terpesona dengan perjuangan Dewi Sartika, Cut Meutia, Nyi Ageng Serang, Hj. R. Rasuna Said, Opu Daeng Risadju, Siti Manggopoh, Martha Christina Tiahahu, dan pahlawan wanita lain.
Akan tetapi perjuangan Kartini, melalui tulisan, juga tidak bisa dipandang sebelah mata.
Apakah hanya yang berjuang mengangkat senjata yang layak dihargai?
Mungkin orang yang berpikir demikian lupa betapa informasi mempunyai kekuatan yang sangat besar.
Menulis adalah berjuang. Itu salah satu semangat yang saya pegang. Menulis membuat kita abadi. Dan dengan menulis kita bisa mengubah dunia.
Papatah “lidah lebih tajam dari pedang” sesungguhnya bukan simbolis, tapi didukung berbagai fakta dalam sejarah.
Napoleon Bonaparte yang sangat piawai dalam memimpin peperangan, justru lebih jeri terhadap penulis daripada tentara. “Saya lebih takut menghadapi satu pena wartawan daripada seribu bayonet musuh,” katanya suatu ketika. Sebab pena mampu mengubah sejarah.
Bangsa Aceh yang begitu ditakuti dan tak terkalahkan di medan perang, dikalahkan Belanda dengan senjata sebuah buku yang ditulis Snouck Hugronje. Buku panduan yang memberi celah bagaimana menaklukkan bangsa Aceh.
Hitler membangun kekuatan salah satunya dengan karyanya berjudul Mein Kampf (Perjuanganku). Sebuah buku yang membuat ia memperoleh kepercayaan publik Jerman hingga akhirnya berkuasa. Dengan kekuatannya, mampu mengalahkan nyaris semua negara di Eropa.
Di sisi lain, sebab utama tumbangnya Hitler pun lantaran kekuatan pena. Kekalahan telak itu bermula dari terlibatnya Amerika dalam Perang Dunia ke-2. Menariknya, salah satu penyebab keterlibatan karena persetujuan dari parlemen Amerika setelah mendengar pidato Winston Churchill. Pengaruh goresan pena perdana menteri Inggris yang berhasil meyakinkan AS masuk ke perang terbesar dalam sejarah, adalah salah satu pintu kemenangan sekutu.
Awal abad 19 kerajaan dan kekaisaran di Eropa Timur berguguran akibat buku Karl Marx yang memperkenalkan sistem komunisme. Amerika Serikat sendiri berdiri dan melepaskan diri dari Inggris berkat semangat yang ditularkan sebuah buku tentang federalisme dan kebebasan.
Contoh terkini pengaruh pena adalah serangan rudal ke markas militer Suriah. Amerika yang sebelumnya enggan menggunakan kekuatan militer, mulai terlibat dalam penyerangan bersenjata setelah media mengungkapkan penggunaan senjata kimia di sana.
Sedikit data di atas menunjukkan betapa sebuah tulisan mempunyai energi yang dahsyat. Karenanya, dua hal bisa kita garisbawahi. Pertama, jangan menganggap enteng kekuatan sebuah tulisan dan informasi. Justru dalami dan jadikan sebagai media berjuang. Kedua, jangan pula meremehkan peran serta siapa pun yang telah menyumbang jasa untuk negeri. Terlepas bagaimana andil mereka, siapa lebih besar dari yang lain, para pahlawan wanita tersebut telah memberikan warna tegas dalam memperjuangkan kehidupan berbangsa.
Kembali pada semangat dan pelajaran dari Ibu Kartini serta segenap perempuan yang disebut Helvy Tiana Rosa dalam bukunya sebagai para pemahat matahari sejati. Saatnya masing-masing kita menundukkan wajah, setulus hati merenung. Allah, jejak seperti apa yang telah kita pahat di dinding negeri?
Belum terlambat untuk berbuat sesuatu, sambil berharap semoga ia terpatri abadi, dalam bingkai kenangan bangsa.
********
Republika.co.id