Kelik M. Nugroho
@KelikMNugroho
Garut News ( Kamis, 05/12 ).
Ketika perhelatan Ujian Nasional 2013 diwarnai kekacauan di beberapa daerah, dan buntutnya ada laporan penyelewengan yang dialamatkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi, saya terpikir untuk berkomentar di Twitter.
“Ketika yang baik-baik tidak diapresiasi, jangan salahkan jika yang buruk-buruk malah terkuak ke publik,” kata saya kurang lebih begitu.
Kicauan ini di-retweet (RT) beberapa teman yang mengindikasikan bahwa pendapat saya menarik dan didukung sejumlah follower saya.
Saya sendiri tidak mencoba menyebut (mention) akun Menteri Nuh yang kadang-kadang aktif, atau akun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang kurang aktif, karena bagi saya peristiwa di Kementerian Pendidikan itu hanya saya ambil hikmah dan renungannya.
Kicauan saya pun tak menyebut nama Kementerian, karena hal yang serupa sangat mungkin terjadi di lembaga lain.
Padahal harus diakui renungan itu bisa muncul sejatinya memang karena saya sedikit tahu “daleman” Kementerian Pendidikan.
Setahu saya penunjukan pejabat di kementerian ini, khususnya pejabat eselon I setingkat direktur jenderal, dilakukan berdasarkan pertimbangan politik, selain sedikit pertimbangan kompetensi.
Si Anu diangkat menjadi dirjen karena itu pesanan dari partai ini, partai itu, demikian bisik-bisik antar-orang.
Salah satu indikasi yang mencolok di mata saya, ada seorang pejabat yang pernah mendapat penghargaan internasional, tapi dia tak kunjung mendapat promosi.
Kalaupun naik jabatan, diperlukan waktu lebih lama.
Berbicara soal apresiasi, pada Jumat, 29 November 2013, Kementerian Pendidikan menyelenggarakan Anugerah Peduli Pendidikan.
Sebanyak 29 penghargaan diberikan untuk mengapresiasi pihak-pihak yang telah memberikan kontribusi nyata dalam bidang pendidikan melalui berbagai cara sepanjang tahun 2013.
Para penerima penghargaan dibagi dalam lima kategori: Perusahaan/BUMN, Kabupaten/Kota; Yayasan Nirlaba/Kelompok Masyarakat; Individual/Inovator Pendidikan; dan Program Acara Televisi.
Sebuah perusahaan jamu menyalurkan dana sosialnya untuk mengobati siswa yang menderita penyakit mata, karena hal itu mengganggu prestasi belajar siswa.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman pribadi, seseorang dari perusahaan itu membuat program sosial itu–sesuatu yang masuk akal.
Dari kategori lain, ada nama-nama seperti Andi F. Noya, Yayasan Indonesia Mengajar-nya Anies Baswedan, dan AA Ayu Ketut Agung.
Di depan para penerima penghargaan dan tetamu lain, Menteri Muhammad Nuh mengatakan bahwa salah satu alasan pemberian apresiasi itu adalah karena kementerian ingin belajar memberikan penghargaan.
“Karena kebiasaan menghargai itu harus dibangun,” kata Menteri Nuh yang wajahnya terpancar di layar LCD jumbo berdefinisi tinggi dengan tangan kanan diletakkan di depan dadanya.
Kata kuncinya, kebiasaan mengapresiasi harus dibangun karena kecenderungan manusia itu susah menghargai prestasi orang lain.
“Hanya orang yang berhasil yang bisa menghargai keberhasilan orang lain, karena dia tahu betapa berat efffort-nya,” kata Nuh lagi.
Tentu, sikap mengapresiasi itu positif.
Tapi Menteri Nuh mestinya mengimbangi budaya mengapresiasi pihak luar dengan mengapresiasi juga birokrat-birokrat yang baik di dalam Kementerian.
***** Sumber : Kolom/artikel Tempo.co