Oleh ; Rostati, S.Pd Guru B. Indonesia
Garut News ( Senin, 09/12 ).
Pada 25 November diperingati “Hari Guru”.
Peringatan itu, tentu tak hanya dilaksanakan sekadar seremonial.
Tetapi dijadikan refleksi atas perjalanan kiprah, dan perjuangan guru mencetak generasi bangsa unggul, mandiri, dan tangguh.
Guru, sosok memiliki wawasan luas, bijaksana, menjadi teladan baik bagi anak didiknya, dan dikenal sebagai ‘PAHLAWAN TANPA TANDA JASA’ yang ikhlas, sabar, dan konsisten sarat dengan semangat pantang mundur berjuang agar anak didiknya menjadi generasi unggul membawa negeri ini pada kebangkitan hakiki.
Idealismenya mengalahkan godaan-godaan pada dirinya berbuat curang, tak jujur, atawa bahkan hidup konsumtif.
Seiring bergulirnya waktu, kurikulum pendidikan semakin neoliberal mengikis kesadaran guru memertahankan status disandangnya, sosok senantiasa “digugu dan ditiru”.
Seperti heboh dikabarkan tentang guru olahraga divonis 13 tahun penjara pada kasus asusila terhadap lima siswi SLBN Garut, juga kabar pemukulan seorang oknum guru terhadap siswa SMPN I Garut.
Diperparah, kampanye-kampanye para guru honorer menuntut upah minimum berstandar UMK Garut Rp880.000/bulan ini masih menjadi PR Pemkab setempat, apabila hal ini tak bisa terpenuhi tentu mengganggu kinerja mereka (gajimu.com).
Selain itu, terjadi kesenjangan antara para guru ketika pemerintah memberi perhatian meningkatkan status sosial mereka dengan kebijakan-kebijakan semacam sertifikasi guru, seperti dilansir media, Garut menyertifikasi guru, baik PNS dan non PNS sekitar 7.000.
Pemerintah berharap, tunjangan sertifikat ini pemicu semangat, dan potensi kinerja.
Namun ironis, antara harapan dan kenyataan sungguh ironis.
Sertifikasi tersebut, berujung pada kejemuan kreativitas guru dan semakin miskin ide, kurus inovasi dan gaya hidup hedonisnya menjadi menjulang.
Kasus-kasus guru semacam ini pun terjadi nyaris pada setiap kota di negeri ini.
“Idealisme Dinilai Menurun”
Turunnya kualitas tingkat pendidikan Indonesia itu, lantaran sistem pendidikan di Indonesia dewasa ini terpengaruh nilai-nilai liberalisme, dan ditujukan memenuhi kebutuhan pasar.
Ini terbukti, ketika pendidikan diharapkan sebagai lokomotif transformasi nilai-nilai, dan pembentukan norma-norma kudu dikecewakan sistem sekaligus oknum dari pendidikan itu sendiri.
Idealisme guru ini, dinilai mulai menurun sebab model pendidikan Indonesia sekuler-materialistik, dimana model ini melahirkan dampak lain, seperti melambungnya biaya pendidikan, kapitalisasi atawa swastanisasi instansi pendidikan, kualitas hasil pendidikan rendah.
Serta tujuan pendidikan lebih banyak berorientasi pada pencapaian materi dengan kebijakan kebijakan (sertifikasi guru, BHP, BHMN, MBS), juga diperparah gonta-gantinya kurikulum.
Seluruh potret buram terjadi pada guru tersebut, berakar pada sistem kapitalisme-sekuler.
Dari sistem kapitalisme itulah, menimbulkan gaya hedonistik, liberalistik, dan materialistik.
Ini warisan kolonial penjajah ingin memertahankan hegemoninya di negeri Islam, Indonesia ini.
Akar penyebab inilah, guru menjadi sibuk sendiri mengejar kesejahteraan hidup. dan melupakan tugas pokok pada anak didik yaitu mengasuh, mendidik, dan memelihara atawa hanya sekadar menunaikan kewajiban mentransfer ilmu tampa ruh, maksudnya tanpa kesadaran adanya hubungan dengan Allah SWT.
Pada pendidikan berbasis kapitalistik –sekuler ini, profesi guru diposisikan sebagai faktor produksi, di era industri pendidikan guru lebih berfungsi sebagai alat produksi pendidikan.
Kondisi ini melahirkan sistem pendidikan nasional memungkinkan tumbuhnya komersialisasi pendidikan.
Dalam konteks guru sebagai faktor produksi dari industri pendidikan, maka pakem guru semula digugu dan ditiru dengan segala integritasnya bergeser sebagai front line, bahkan sekadar custumer service kudu tampil pemuas pelanggan dalam hal ini siswa, dan orangtua murid.
Pendidikan tak lain industri jasa dengan guru sebagai salah satu produksinya.
Guru semula “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani” kudu bersedia tampil sebagai pribadi berperilaku, dan bersikap memuaskan costumer secara totalitas.
“Kesimpulan”
Problematika guru ini, kudu segera diselesaikan tentu tak dengan pragmatis tetapi kudu dilakukan secara fundamental.
Itu hanya bisa diwujudkan dengan melakukan perbaikan menyeluruh diawali perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam.
Kemudian kelemahan fungsional tercermin dari kacaunya kurikulum, dan tak berfungsinya guru dan lingkungan sekolah sebagai medium pendidikan sebagaimana mestinya bisa diperbaiki dengan cara memerbaiki strategi fungsionalnya sesuai arahan Islam.
Pendidik atawa guru, orang-orang menyampaikan pelajaran, teladan bagi peserta didik, dan pelaku uslub-uslub pendidikan lain pada siswa.
Dalam Islam, negara kudu menentukan kualifikasi pendidik, dan tenaga pendidikan.
Misalnya ditentukan mereka semua kudu berkepribadian Islam, memiliki etos kerja baik , amanah, kapabel menjalankan tugas mereka masing-masing.
Negara perlu menyediakan fasilitas memungkinkan para pendidik terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan agar ilmu diajarkan selalu bisa mengikuti perkembangan terjadi, juga memungkinkan pendidik bisa terus meningkatkan kemampuan kreativitasnya dalam mendidik.
Yang tak boleh dilupakan menjamin kesejahteraan pendidik, dan tenaga pendidikan.
Rasulullah SAW. Bersabda “ Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak memiliki isteri maka hendaklah ia menikah; jika ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mendapatkannya: jika ia tidak mendapatkan rumah maka hendaklah ia mendapatkan rumah; jika ia tidak mendapatkan hewan tunggangan maka hendaklah ia memilikinya. Barangsiapa yang mendapatkan selain itu maka ia telah melakukan kecurangan.(HR.Ahmad).
Hadis tersebut, menunjukkan sebagai pegawai negeri, tenaga pendidik, berhak mendapatkan gaji dan fasilitas perumahan, pembantu, dan kendaraan.
Seperti pada masa Khalifah Umar bin al-Khathab memberikan gaji pada seorang guru sebesar 15 dinar.
Satu dinar sebanding dengan 4.25 gram emas, jadi sekitar Rp5 juta setiap bulannya.
Negara pun akan terus mendorong peningkatan kualitas guru sebagai pendidik berbasis aqidah Islam, senantiasa mengaitkan ilmu diajarkannya dalam Islam, dan mengajar dengan hati ikhlas lantaran Allah SWT.
Tak sekalipun berorientasi pada materi semata.
Semoga guru mendapat keberuntungan di sisi Allah SWT.
Lantaran Rasulullah bersabda “Hamba yang paling dicintai Allah SWT. Setelah para nabi dan syuhada adalah para guru…”
Insaallah sosok guru profesional, berakhlak mulia, mampu mencetak generasi Islam menuju kebangkitan Islam hakiki ini, akan terwujud nyata tatkala faktor pendukungnya segera dirubah menjadi sistem pendidikan Islam diterapkan dalam sebuah institusi negara Islam yakni Khilafah Islam.
Wallahu’alam bi ash-shawab
**** Editor : John.