– Zainul Maarif, Dosen Filsafat Komunikasi
Jakarta, Garut News ( Jum’at, 13/06 – 2014 ).
Akhir-akhir ini, kehidupan privat dan publik kita digaduhi oleh kampanye politik.
Beragam orang berbicara politik, bahkan ada yang “mendadak politik”.
Pelbagai media pun memaparkan kampanye politik, terutama media sosial, “men-jaelangkung-kan” politik.
“Keserbahadiran” kampanye politik yang cenderung “datang tak diundang” itu pada titik tertentu menarik kita hanyut ke dalamnya. Awalnya, kita mungkin hanya komunikan (penerima kampanye), tapi kemudian menjadi komunikator (pengujar kampanye).
Setelah kita masuk ke pusaran kampanye, kadang objektivitas kita kandas, akal kita tumpul, pikiran kita keruh, dan tindakan kita kacau.
Kampanye dapat didefinisikan sebagai bujukan kepada orang lain untuk memilih sesuatu dan/atau menolak sesuatu lain.
Bujukan untuk memilih sesuatu dapat disebut dengan kampanye positif.
Bujukan untuk menolak yang lain dapat disebut dengan kampanye negatif.
Jadi, kampanye, secara sederhana, dapat dikategorikan menjadi dua: kampanye positif dan kampanye negatif.
Kampanye positif dilakukan dengan menunjukkan sisi baik sesuatu untuk dipilih.
Kampanye negatif dilancarkan dengan menunjukkan sisi buruk hal lain untuk ditolak.
“Positif” di sini identik dengan kebaikan, pilihan, dan diri; sedangkan “negatif” identik dengan keburukan, penolakan, dan liyan (orang lain).
Jadi, kampanye dapat dikatakan sebagai perseteruan antara diri dan liyan, antara kebaikan dan keburukan, di mana diri dan kebaikan diharapkan untuk dipilih, sementara liyan dan keburukan diharapkan untuk ditolak.
Tapi, sejatinya, diri tak selalu baik dan liyan tak selalu buruk.
Yang ada pada diri tak selamanya layak dipilih.
Yang ada pada liyan tak selamanya layak ditolak.
Keburukan terkadang melekat pada diri, sebagaimana kebaikan kadang berada pada liyan.
Maka, sering kali yang terjadi pada kampanye hanyalah “klaim” tentang diri sebagai representasi kebaikan, dan “klaim” tentang liyan sebagai perwakilan keburukan.
Selaku klaim, sumber kampanye mungkin fakta, mungkin juga fiksi.
Kalau sudah begini, kampanye dapat dimasukkan ke dua kategori lain: kampanye faktual dan kampanye fiktif.
Karena berdasarkan pada fakta yang sebenarnya, kampanye faktual tentu lebih benar daripada kampanye fiktif.
Kampanye fiktif mungkin lebih kreatif daripada kampanye faktual.
Tapi, karena kampanye politik mendambakan kebenaran dan bukan hiburan, maka kampanye fiktif tak selayaknya diselenggarakan.
Kampanye faktual menghadirkan kebenaran yang disebut epistemologi dengan korespondensi, yaitu parameter kebenaran yang mengharuskan kesesuaian pernyataan dengan kenyataan.
Sejauh kenyataan mendukung pernyataan, maka suatu pernyataan dinyatakan benar.
Seharusnya, kampanye politik didasari dan dinilai dengan kebenaran korespondensi semacam itu.
Bahkan sebaiknya kampanye politik bukan hanya koresponden, tapi juga koheren.
Kampanye koheren adalah kampanye yang didasari oleh rasionalitas konsisten.
Satu pernyataan diharapkan masuk akal, dan selaras dengan pernyataan lain, bukan malah bertolak belakang.
Dengan kata lain, kampanye koheren adalah kampanye rasional: kampanye yang bersumber dari dan dapat ditinjau ulang dengan akal.
Kampanye rasional didasari oleh logika yang waspada dalam membuat pernyataan (kalimat berita/proposisi).
Setiap pernyataan, secara logis, memiliki unsur term subjek dan term predikat (S-P).
Kadang hubungan kedua term itu mengiya (afirmatif [S = P]), kadang menidak (negatif [S # P].
Untuk membuat dan meninjau pernyataan secara logis, pertama-tama definisikan setiap term, dengan menjawab pertanyaan: “apa itu ‘S’?” dan “apa itu ‘P'”.
Dalam mendefinisikan term, pastikan definisi itu jelas (clear) dan terbedakan (distinct); mencakup semuanya (jâmi’) dan mengeluarkan yang bukan bagiannya (mâni’).
Setelah term terdefinisikan, pertanyakan hubungan antar-term tersebut dengan menjawab pertanyaan “apakah S = P” atau “apakah S # P?”.
Contohnya, kampanye yang menyatakan “fulan adalah orang tegas (S = P)”.
Sang komunikator pertama-tama harus mendefinisikan “apa itu tegas?” (apa itu ‘P’?) dan “siapa itu fulan” (siapa itu ‘S’?), secara clear, distint, jâmi’ dan mâni’.
Jika tidak, komunikan akan dengan mudah meruntuhkan pernyataannya.
Sebaliknya, jika definisi universal bagi term “tegas” telah dicapai, dan “fulan” pun telah diidentifikasi dengan tepat, maka pertanyaan kedua perlu dijawab, “apakah hal itu seperti itu?”, “apakah S adalah P?”, “apakah fulan itu tegas?”.
Bila masing-masing dari subjek dan predikat sudah didefinisikan dengan benar, dan kedua term itu pun berhubungan secara afirmatif, pernyataan di atas menjadi benar secara koheren dan rasional.
Lawan dari kampanye rasional adalah kampanye irasional.
Yaitu, kampanye yang membabi-buta mencintai diri sendiri dan/atau jagoan yang didukung, sekaligus membenci liyan dan/atau lawan yang ditolak.
Kampanye irasional hanya dilakukan oleh bodoh (atau orang “pintar” tapi tidak taat pada prinsip “kebenaran”), dan menghasilkan kebodohan.
Kampanye irasional acap kali berisi fitnah, jauh dari fakta dan akal sehat, maka seyogianya dihindari.
Seharusnya komunikator dan komunikan kampanye politik menghindar dari kampanye negatif-fiktif-irasional.
Sebab, kampanye negatif hanya memenuhi ruang publik dengan keburukan.
Kampanye fiktif menjejali audiens dengan karangan yang jauh dari fakta.
Dan kampanye irasional hanya menghadirkan orang sesat yang menyesatkan.
Sebaliknya, komunikator dan komunikan kampanye politik seharusnya menerapkan dan mendekat pada kampanye positif-faktual-rasional.
Dengan kampanye positif-faktual-rasional yang tampak hanyalah kebaikan-kebaikan penuh harapan, yang punya landasan kenyataan, serta mendorong semua pihak menjadi cerdas dan mencerdaskan.
********
Kolom/Artikel : Tempo.co