Kali Ini Hamas Lebih Cerdik!

Kali Ini Hamas Lebih Cerdik!

777
0
SHARE
Ikhwanul Kiram Mashuri. (Foto: Republika/Daan).

Senin 13 August 2018 12:34 WIB
Red: Elba Damhuri

“Fatah dan Hamas merupakan dua faksi utama pembebasan Palestina”

REPUBLIKA.CO.ID Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Ikhwanul Kiram Mashuri. (Foto: Republika/Daan).

Banyak pihak mengacungkan jempol ketika Hamas menyetujui penjanjian gencatan senjata selama lima tahun dengan Israel. Baik Hamas sebagai organisasi maupun pemerintahan di Jalur Gaza. Dan, di atas semua itu adalah kecerdikan mereka dalam berpolitik.

Seperti dilaporkan sejumlah media di Timur Tengah pada Rabu (08/08) lalu, persetujuan Hamas itu akan disampaikan kepada pejabat Mesir dan PBB, dua pihak yang selama ini bertindak sebagai fasilitator perundingan. Perjanjian gencatan senjata selama lima tahun ini termasuk melonggarkan pengepungan Jalur Gaza dan pertukaran tahanan.

Menurut pengamat politik Timur Tengah, Abdul Rahman al-Rasyid, kesepakatan gencatan senjata dengan Israel kali ini menunjukkan Hamas lebih piawai dan terampil dalam berpolitik daripada kelompok-kelompok Palestina lain. Ia menilai, dengan berkorban sedikit, Hamas akan mendapatkan lebih banyak.

Bila perjanjian ini berhasil, lanjut al-Rasyid, Hamas akan selamat dari tekanan berbagai pihak yang ingin menghancurkan mereka. Bahkan, perjanjian ini juga menunjukkan Hamas lebih cerdik dibandingkan para pesaingnya, termasuk kelompok Fatah yang selama ini mendominasi keputusan-keputusan strategis perpolitikan Palestina sejak 1970-an.

Fatah dan Hamas merupakan dua faksi utama pembebasan Palestina. Fatah berkuasa di Tepi Barat selaku penguasa otoritas Palestina. Sedangkan, Hamas berkuasa di Gaza.

Kedua faksi ini terlibat sengketa sejak Hamas memenangkan pemilu pada 2006 dan berkuasa di Gaza setahun kemudian. Tepi Barat dan Gaza terpisah akibat penjajahan Israel. Di wilayah pemisah ini lalu dibangun permukiman Yahudi.

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendamaikan kedua faksi, tetapi selalu gagal karena perbedaan prinsip. Fatah berideologi sekuler dan dianggap lemah menghadapi Zionis Israel. Terbukti semua upaya perundingan damai dengan Israel tidak membuahkan hasil bagi perjuangan bangsa Palestina.

Sementara, Hamas berideologi Islam dan lebih mengandalkan perjuangan bersenjata. Beberapa kali mereka berhasil memukul mundur militer Israel yang mencoba menginvasi Gaza. Karena kecewa terhadap Fatah, mereka pun mencoba berunding langsung dengan Israel, termasuk perjanjian gencatan senjata Rabu lalu.

Perjanjian gencatan senjata kali ini memang belum ideal banget. Perjanjian ini baru menawarkan kedamaian dan bukan perdamaian abadi, sekadar pengakuan dan bukan pengakuan penuh. Kita masih menunggu beberapa hari ke depan tentang perincian dari perjanjian Abu Khomsu Sanawatin (perjanjian lima tahun) ini.

Namun, berdasarkan informasi dari sejumlah media, perjanjian ini telah memberi pengakuan kepada Hamas. Pengakuan yang baru pertama terjadi dari pihak Israel bahwa Hamas merupakan pemerintahan Palestina di Gaza dan bukan hanya bagian dari pemerintahan (Fatah) di Ramallah.

Dalam kesepakatan itu, Israel berjanji tidak akan menyerang Gaza. Sebaliknya, Hamas pun akan menghentikan semua serangan bawah tanah, darat, dan udara. Dengan perjanjian ini, Hamas akan mempunyai dua pintu untuk masuk dan keluar wilayah Gaza, yaitu Karam Abu Salem dan Rafah.

Zona maritim Hamas di Mediterania juga akan diperluas 12 kilometer lagi. Hal ini akan memungkinkan keluar-masuknya barang maupun orang ke dan dari Gaza. Selain itu, Israel juga akan membebaskan para pejuang Hamas dari sejumlah penjara negara Yahudi itu.

Di pihak lain, otoritas Palestina di Ramallah yang dikuasai Fatah tampaknya telah kecele dengan perjanjian ini. Pada awalnya mereka memperkirakan perjanjian itu akan gagal total. Karena itu, mereka pun tampak cuek saja.

Presiden Palestina Mahmud Abbas sendiri meyakini perjanjian antara Hamas dan Israel adalah sesuatu yang mustahil. Karena itu, keberhasilan perjanjian ini semakin membuktikan Hamas merupakan penguasa sesungguhnya di Gaza, bukan Fatah.

Beberapa bulan lalu Hamas sempat meminta—setengah ‘mengemis’—kepada Otoritas Palestina di Ramallah agar bisa membayarkan biaya listrik, telepon, dan gaji para pegawainya di Gaza. Namun, mereka menolak, kecuali bila Hamas menyerahkan semua kekuasaannya di Gaza kepada Otoritas Palestina (Fatah).

Alih-alih tunduk mengikuti perintah Fatah (Otoritas Palestina)—yang sebenarnya mengambil dananya dari Israel—Hamas memutuskan untuk pergi langsung ke sumbernya, ke musuh bebuyutannya, Israel.

Dari perjanjian gencatan senjata dengan Israel, Hamas akhirnya mendapatkan lebih dari sekadar untuk membayar listrik, telepon, dan gaji para pegawai, tanpa mengorbankan hal-hal prinsip.

Hamas menerima perjanjian dengan Israel karena kondisi ekonomi di Gaza yang terus memburuk. Kondisi ini, antara lain, disebabkan bantuan dari Suriah dan Iran telah lama berhenti. Untunglah, di tengah dunia yang serbaliar dan saling mengancam ini, Hamas masih mempunyai teman-teman setia, seperti Muhammad Dahlan (juru runding Palestina) dan Pemerintah Mesir. Lewat dua pihak inilah Hamas berhasil mendapatkan lebih dari yang diharapkan.

Tentu saja, akan ada pihak-pihak yang nyinyir, bahkan mengkritik keras perjanjian gencatan senjata lima tahun ini. Misalnya, mereka yang berpandangan bahwa perjanjian yang dilakukan secara sepihak oleh Hamas ini justru akan memecah belah bangsa Palestina.

Namun, bagi para pengkritik ini harus ingat bahwa hubungan Hamas dengan Fatah—sebagai pemegang kendali Otoritas Palestina—selama bertahun-tahun memang sudah memburuk.

Apalagi, selama ini Otoritas Palestina/Fatah tidak pernah melibatkan Hamas dalam berbagai keputusan politiknya. Bahkan, berbagai keputusan politik yang diambil otoritas Palestina sering kali tidak menguntungkan Hamas atau rakyat Palestina yang tinggal di Gaza.

Selain itu, adakah pengganti yang lebih baik bagi Hamas selain perjanjian gencatan senjata ini, di tengah perkembangan dan perubahan geopolitik yang sangat cepat dan membahayakan di Timur Tengah?

Begitu pula bagi para pengkritik terhadap keterlibatan Mesir yang menjadi fasilitator dalam perundingan ini. Adakah negara lain yang lebih baik dari Mesir yang telah berhasil mendorong terjadinya kesepakatan yang sangat penting bagi rakyat Palestina yang tinggal di Gaza ini?

Pertanyaan lain, mengapa jangka waktu perjanjian lima tahun? Belum ada jawaban pasti dari para pimpinan Hamas. Bisa saja, menurut Abdul Rahman al-Rasyid, dalam kolomnya di media al Sharq al Awsat, durasi perjanjian itu mencerminkan uji niat dan kepercayaan masing-masing pihak—Hamas dan Israel—dan transisi ke tahap yang lebih penting nantinya. ‘’Itu sangat dimungkinkan,’’ tulisnya.

Selama ini Hamas tidak pernah memercayai janji-janji, bahkan tidak mengakui keberadaan Israel. Beberapa gencatan senjata yang dilakukan kedua belah pihak sering dilanggar petinggi negara Zionis itu. Sebaliknya, Israel juga tidak pernah memercayai Hamas.

Israel bahkan menuduh Hamas sebagai kelompok teroris dan bertanggung jawab terhadap peluncuran roket yang dilakukan kelompok-kelompok bersenjata di Gaza, yang sebenarnya sering kali di luar jangkauan Hamas.

Karena itu, perjanjian gencatan lima tahun ini jelas merupakan peluang bagi masing-masing pihak untuk saling uji kepercayaan, yang kita harapkan bisa membawa perubahan yang lebih baik bagi Palestina pada masa mendatang. Minimal bagi mereka yang tinggal di Gaza yang selama ini banyak menderita.

*******

Republika.co.id

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY