Red: Maman Sudiaman
Oleh : Asma Nadia
REPUBLIKA.CO.ID, “Ini kok setoran pada nggak nutup?”
Abah, mengumpulkan belasan sopir angkot miliknya. Lelaki ini mulai resah mendapati setoran yang makin sulit mencapai target.
“Cari penumpang susah, Abah. Musim hujan.”
Alasan demi alasan lain pun bergulir.
“Sekarang kreditan motor murah, jadi pada punya motor sendiri.”
“Mobil kita sudah jelek, penumpang maunya pakai angkot yang baru.”
“Banyak berita kejahatan di angkot, jadi perempuan takut naik kalau sendirian atau penumpangnya cuma lelaki.”
Juragan angkot ini hanya menggeleng-geleng. Semuanya benar, banyak hal bisa dikemukakan untuk menjelaskan kenapa pendapatan mereka semakin sepi.
Ani, anak perempuan Abah, magister manajemen lulusan luar negeri, yang sedang mampir, punya analisa sendiri.
“Mungkin kita juga perlu mengedukasi pengendara untuk lebih ramah, lebih taat lalu lintas, jangan terlalu lama ngetem, juga jangan ugal-ugalan, serta membuat mobil lebih nyaman, sehingga klien atau pelanggan bisa loyal.”
Abah tersenyum getir.
“Penumpang kok dibilang klien. Dari dulu Abah bisnis nggak pakai yang namanya, apa tadi… edukasi dan segala tetek-bengek lain, usaha lancar aja. Kuliah kamu tuh yang bayar, ya angkot-angkot ini.”
Suasana seketika hening. Terdengar Abah menarik napas,
“Meski ada benarnya juga, mungkin kita harus memperbaiki pelayanan.”
Komentar Abah lebih kepada dirinya sendiri.
Akan tetapi lontaran seorang sopir muda membuat suasana yang mulai tenang menjadi keruh.
“Menurut saya ini gara-gara angkutan online.”
Berpasang mata saling pandang. Tiba-tiba saja semua sopir spontan mengangguk.
“Iya tuh.”
“Betul.”
“Gak salah lagi!”
Abah, tidak ketinggalan, turut mengangguk setuju. Entah kenapa lelaki tua yang tidak pernah lepas dari topi, melupakan logika lain yang menjadi penyebab sepinya penumpang. Mendadak angkutan online seolah menjadi satu-satunya tersangka.
Ani yang mempunyai pekerjaan mapan tapi tetap suka bantu-bantu bisnis keluarga angkat suara.
“Jangan terbiasa menyalahkan orang lain. Saya justru banyak terbantu. Aji kalau sekolah sekarang rutin diantar jemput ojek online. Sangat memudahkan.”
Serta merta Abah, yang pikirannya sudah telanjur tercemari, menghardik.
“Berarti kamu mendukung pesaing bisnis keluarga!”
Anak perempuan yang biasanya tidak mau melawan, kini merasa harus berani berpendapat. Tapi argumentasi terhadap orang tua, haram disampaikan dengan emosi tinggi, harus tetap menjaga kesantunan.
“Abah sayang, kalau kita bisnis becak, kan nggak berarti cucu Abah harus ke mana-mana naik becak, begitu juga dengan angkot. Nah, Abah sendiri bukannya sekarang juga menggunakan mobil pribadi?”
Pria berambut putih menarik napas. Ia memandang minivan keluarga yang baru dibelinya, juga dari hasil angkot.
Pertemuan informal dengan para sopir tidak memberi kesimpulan apa-apa. Semua bubar tanpa ada keputusan.
Tak ada yang tahu bagaimana bermula, isu angkutan online sebagai akar masalah turunnya penumpang, secara massif dipercaya sebagai satu-satunya penyebab.
Sopir mulai main hakim sendiri terhadap ojek atau taksi online yang melewati pangkalan. Berita kekerasan terhadap pengendara angkutan online mulai marak. Sopir Abah sebagian bahkan mulai ikut-ikutan demo.
Ani melihat ini bukan gejala yang baik, ada penggerak dan provokatornya. Ia tidak ingin Abah terlibat. Tapi ibu satu anak ini tahu Abah-nya sedang gundah. Karena itu dia menanti suasana tenang untuk kembali membahas persoalan tersebut.
Hingga kesempatan itu kemudian datang.
Abah mengantar Ani pulang karena kendaraan sang anak berada di bengkel. Momen tepat untuk menyambung diskusi mereka.
“Abah, sopir kita jangan suka pakai kekerasan, nanti kita ikut terjerat pelanggaran hukum!”
Sang Abah membisu dan tetap memandang kaca depan. Ani mencoba lagi memberi masukan, tapi lelaki tua itu malah memintanya diam. Suasana berangsur tidak nyaman.
Di tengah jalan, tiba-tiba seseorang melempari kaca mobil Abah dengan batu. Kendaraan direm mendadak. Entah dari mana, tahu-tahu ramai orang sudah mengepung.
“Ini pasti mobil online, ayo keluar!”
Teriakan susul menyusul terdengar, ditingkahi tendangan dan pukulan terhadap kendaraan.
Abah dan putrinya panik. Lelaki itu mencoba menenangkan massa, bahkan memberanikan diri melangkah keluar dari mobil. Namun belum lagi sanggup menjelaskan kesalahpahaman, bahwa dirinya pun juragan angkot, wajahnya sudah dipukul salah satu sopir yang marah.
Ani menghambur keluar, berteriak keras menjelaskan siapa ayahnya. Pengeroyokan bisa dicegah. Alhamdulillah. Kelompok massa bubar dan menyelamatkan diri masing-masing, setelah melihat aparat menghampiri.
Abah terluka, tidak banyak, tapi tampak cukup terpukul.
Mereka baru akan menarik napas lega, ketika Ani menerima panggilan dari pengasuh di rumah.
Ada apa?
Dari ujung telepon ia mendengar suara terbata-bata yang sarat kecemasan.
“Aji… Aji di rumah sakit, Bu!”
Innalillahi. Jantung Ani berdebar kencang. Pagi tadi saat meninggalkan rumah, sang anak terlihat sehat saja.
“Kenapa?”
“Tadi diantar pulang pakai ojek online, tiba-tiba saja sopirnya dipukul orang hingga motor terjatuh. Aji ikut terluka.”
Astaghfirullah.
Kekerasan lagi. Sampai kapan?
Padahal tindakan fisik tidak pernah menyelesaikan masalah.
Dia harus segera pulang.
Ani mencium tangan Abah. Segera meninggalkan lelaki dengan topi itu setelah menceritakan apa yang menimpa sang anak. Secepatnya, dia menghubungi jasa motor online untuk menghindari macet.
“Ke rumah sakit!”
Juragan angkot menatap punggung anaknya yang menjauh, bersama deru kendaraan bermotor. Terpekur sendiri di dalam mobil.
Andai saja dia tak ikut tersulut. Andai dia bisa meredam semua sejak awal, sesalnya dalam hati.
Tapi beribu pengandaian tak mengubah apa yang sudah terjadi.
Pelan Abah memutar kunci mobil, menghidupkan kendaraan. Besok pagi dia akan mengumpulkan semua sopir angkot.
Kekerasan tidak boleh lagi terjadi. Setidaknya, mereka yang bekerja padanya, harus belajar mencari solusi lain dari sekadar melampiaskan kemarahan.
**********
Republika.co.id