Jokowi dan Topeng Monyet

Jokowi dan Topeng Monyet

1303
0
SHARE

J.J. Rizal, Sejarawan

Garut News, ( Senin, 04/11 ).

Ilustrasi. (ist).
Ilustrasi. (ist).

Atas nama ketertiban dan “perikemonyetan”, Jokowi menetapkan, mulai 2014, Jakarta harus bebas dari tukang topeng monyet.

Seketika mulai 20 Oktober, razia pun digelar oleh tim gabungan Dinas Sosial, Dinas Peternakan, dan Satuan Polisi Pamong Praja.

Sekitar 350 tukang topeng monyet di lima wilayah Jakarta kocar-kacir diburu.

“Kasihan monyetnya kurus seperti saya,” canda Jokowi.

Ini betul dipandang dari sudut perlindungan hewan.

Terlebih mulia lagi, Jokowi akan menampung monyet-monyet hasil razia itu di Kebun Binatang Ragunan.

Sementara itu, Ahok berkata, “Tukangnya akan dijadikan pelatih pertunjukan sirkus hewan.”

Ini sikap bertanggung jawab Pemerintah Kota Jakarta yang patut diapresiasi.

Tapi, dari semua itu, tetap saja ada dimensi lain dari topeng monyet yang belum diperhitungkan, yaitu aspek sistem pengetahuan lokal (local knowledge system) yang berakar pada kearifan lokal (local wisdom).

Demikianlah faktor budaya belum dijadikan pertimbangan dalam kebijakan publik Pemerintah Kota DKI Jakarta.

Alhasil ketiadaan upaya melihat dan menilai topeng monyet sebagai bagian dari local knowledge system membuat nasib topeng monyet sebagai seni pertunjukan tidak disuarakan.

Ada kesan kuat Pemkot Jakarta dan mayoritas masyarakat berpikir dihapus saja topeng monyet, karena tidak bernilai.

Tetapi, benarkah sikap itu ditilik dari sudut local knowledge system?

Ada kepercayaan di masyarakat Betawi bahwa asal-usul topeng monyet terkait dengan cerita rakyat Ki Alang, seorang ulama terkemuka di Kerajaan Jayakarta.

Tersebutlah di negeri Jakarta, kisah Raja Jayakarta yang memiliki seekor monyet.

Sang Raja menggunakan monyet peliharaannya untuk melecehkan Ki Alang.

Ki Alang dipanggil menghadap raja.

Ia diperintahkan mengajar monyet sang raja mengaji kitab agama.

“Saya minta waktu 70 hari,” kata Ki Alang.

Raja sepakat dan monyetnya pun dibawa pulang Ki Alang.

Monyet dibiarkan puasa.

Makan sebelum subuh dan nanti berbuka magrib.

Saat berbuka itulah Ki Alang mulai mengajarkannya mengaji.

Sang monyet diminta mengambil beberapa butir nasi di setiap halaman kitab.

Begitu terus saben hari sampai sang monyet terlatih membuka halaman demi halaman kitab sembari komat-kamit.

Ketika tiba waktunya Ki Alang menghadap, terkagetlah Raja Jayakarta demi melihat monyetnya dengan sigap membuka lembar demi lembar kitab sambil berkomat-kamit persis santri.

Agar wibawanya tidak jatuh, Raja Jayakarta pun berkata, “Saya minta monyet itu jangan hanya mengebet dan berkomat-kamit. Ayo, kamu latih lagi sampai bisa lantang mengaji.”

Ki Alang diam, lantas berkata, “Saya akan melatihnya, tetapi beri waktu 70 tahun.”

Raja Jayakarta terkejut. Menunggu 70 tahun artinya sama saja dengan “ampe ujan berkelir” atau “ampe lebaran kuda” alias “hal yang mustahil, sesuatu yang dilakukan sampai mati pun tidak bakal bisa”.

Raja kena sentil Ki Alang.

Ia telah menjadi pongah dan menyalahgunakan kewenangan meminta sesuatu di luar kepatutan.

Ia pun harus menanggung malu dan rasa celaka lantaran kebodohannya.

Di dalam masyarakat Betawi, kisah Ki Alang menjadi medium wanti-wanti alias peringatan betapa celaka seorang pemimpin yang angkuh dan menyalahgunakan wewenang.

Sebab, ia bisa saja bermahkota, duduk di singgasana, berbaju indah berperhiasan mewah, punya kuda gagah, tetapi sejatinya jauh lebih rendah daripada monyet.

Seekor monyet dapat diselamatkan dalam batas-batas tertentu dari kebodohan dengan dilatih, tapi pemimpin yang angkuh dan sewenang-wenang tidak tertolong karena dirinya sudah tit atau mati.

Kisah Ki Alang sebenarnya folklor Betawi yang diadaptasi dari naskah lama Hikayat Lima Tumenggung bagian “Hikayat Tumenggung Al Wazir” karya Ya’ Mikul.

Sebagai naskah lama, seperti dikatakan Edi Sedyawati, merupakan warisan intelektual yang tidak hanya memiliki nilai historis, tapi juga gagasan-gagasan.

Kisah Ki Alang oleh masyarakat Betawi telah difungsikan sebagai pedoman untuk evaluation element atau unsur penilaian, apakah sesuatu sudah sesuai dengan yang menjadi kepatutan (prescriptive element).

Saking penting gagasan moral dalam kisah Ki Alang, masyarakat Betawi pada masa lalu merasa tak cukup ajaran itu dituturkan, tetapi dimanifestasikan pula sebagai pertunjukan topeng monyet.

Penggunaan kata “topeng” pada topeng monyet menunjukkan sifat khas bahwa itu adalah seni pertunjukan Betawi.

Ingat saja topeng Betawi seperti yang dimainkan maestronya: Mak Kinang, Bokir, Bodong, Nirin Kumpul, dan Kartini.

Bedanya, topeng Betawi adalah seni pertunjukan yang dimainkan orang, sedang topeng monyet dimainkan binatang.

Lebih jauh yang juga khas menandakan Betawi adalah kata topeng pada topeng monyet-begitu juga topeng Betawi-tidak mengacu pada topeng (mask).

Jika melihat kartu pos bergambar topeng monyet di Batavia awal abad ke-20 terbitan JL van Dieten, tampak monyetnya meski berbaju tetapi tidak bertopeng.

Dalam kartu pos itu juga tampak ikut bermain topeng monyet seekor kambing yang dihias menyerupai kuda istimewa raja.

Singkat cerita, dalam kilas balik jelas menunjukkan topeng monyet adalah bagian dari local knowledge system Betawi.

Sebagai seni pertunjukan, topeng monyet pun terlihat mengalami continuity and change atau keberlanjutan dan perubahan.

Topeng monyet mampu melanjut dan malahan menyebar ke luar wilayah geografi kebudayaan Betawi.

Namun dalam bertahan melintasi zaman sampai hari ini, topeng monyet mengalami perubahan-perubahan, dari yang semula tanpa musik menjadi dengan iringan musik, dari dimainkan tim binatang menjadi pertunjukan tunggal monyet.

Bahkan, dari tidak bertopeng menjadi bertopeng.

Namun, dari semua perubahan itu, ironinya adalah kearifan tradisi yang mendasari kelahiran topeng monyet dari kisah Ki Alang sudah terlupa.

Tiada lagi tukang topeng monyet yang menuturkannya.

Nah, apa kini dengan hilangnya nilai traditional knowledge (pengetahuan tradisional), topeng monyet itu harus diikuti penghilangan topeng monyetnya yang secara historis adalah traditional cultural expression (ekspresi budaya tradisional) Betawi?

Jelas orang Betawi mengalami kerugian kultural akibat penghilangan topeng monyet.

Tetapi percayalah, kerugian besar juga bakal dialami orang Indonesia, mengingat telah menasionalnya topeng monyet.

Sebab, penghilangan topeng monyet adalah juga pelenyapan kesempatan menyerap gagasan dasarnya yang justru nilainya sangat aktual hari ini.

Topeng monyet adalah medium budaya peranti evaluasi, refleksi apakah diri-apalagi seorang pemimpin-di balik pakaian bagus, kendaraan mewah, dan bagus-bagus lainnya, hati serta jiwanya sudah mati digerogoti kegelapan serta kebusukan, sehingga lebih rendah statusnya daripada seekor monyet.

**** Sumber : Kolom/Artikel : Tempo.co

 

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY