Jokowi dan Marhaenisme

Jokowi dan Marhaenisme

752
0
SHARE

Muhidin M. Dahlan, kerani @warungarsip

Garut News ( Jum’at, 08/05 – 2015 ).

Ilustrasi. Buruh Tani Sejenak Melepas Lelah. (Foto : John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. Buruh Tani Garut Sejenak Melepas Lelah. (Foto : John Doddy Hidayat).

Katakanlah Presiden yang Terhormat Jokowi adalah petugas partai bernama PDIP. Benarkan sajalah bahwa PDIP-dan di dalamnya Jokowi-adalah pewaris sah ajaran politik Sukarno.

Dan itu bisa kita konfirmasi, selain genetika darah Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri, bisa dibaca dari frase-frase yang dilekatkan dalam paras pemerintahan Jokowi: “nawacita”, “kabinet kerja”, dan “trisakti”.

Frase-frase yang pernah menjadi lingua franca politik pada era Sukarno itu dihidupkan kembali di Istana Merdeka.

Mestinya, jika ingin menghidupkan Sukarno, hidupkan dalam kebijakan harian sukma ideologi yang dicetuskannya: marhaenisme. Apa dan siapa kaum marhaen itu?

Buka majalah Fikiran Rajat, Nomor 1, 1 Juli 1932, halaman 2, dan biarkan Sukarno sendiri menjelaskannya. Di artikel “Matahari Marhaenisme” itu, Sukarno membedakan secara distingtif antara marhaen dan proletar.

Proletar jalah orang jang “berboeroeh”, ja’ni orang jang dengan mendjoeal tenaganja “membikin” sesoatoe “barang” oentoek orang lain (madjikannja), sedang ia tidak ikoet memiliki alat2 pembikinan “barang” itoe.

Berangkat dari pengertian itu, Sukarno kemudian menunjuk profesi-profesi yang menjadi domain proletar, seperti letterzetter, masinis, dan bahkan insinyur teknik karena ia “mendjoeal tenaganja, sedang kantor atau besi-besi atau semen jang ia peroesahakan itoe boekan miliknja. Insinjoer itu proletar intelektoewil.”

Lalu, di golongan mana mereka yang memiliki alat produksi sendiri, menggarap di atas tanah sendiri, tapi tetap saja melarat, itulah kaum marhaen. Sukarno menyebutkan kaum marhaen itu adalah kaum tani yang jumlahnya jutaan.

“Barang siapa yang berpihak pada kaum melarat itu, kaum marhaen itu, kaum tani itu, mereka adalah marhaenis,” kata Sukarno.

Sebelum Sukarno mengambil alih perjuangan petani menjadi ideologi gerakannya, kaum ini sudah berjibaku dalam pasang-surutnya gerakan pembangkangan.

Sebagaimana dicatat Sartono Kartodirdjo dalam Pemberontakan Petani Banten 1888, di daerah paling barat Pulau Jawa itu sepanjang abad ke-19 sesak oleh cerita pemberontakan petani.

Bahkan arus itu menjadi sangat besar jika kita memasukkan Java Oorlog sebagai rantai pemberontakan petani terbesar di Jawa yang dipimpin Diponegoro. Pemberontakan petani pada 1825-1830 itu boleh dibilang nyaris membangkrutkan VOC.

Puncaknya adalah pemberontakan kaum petani yang dipimpin PKI di pelbagai kota di Jawa dan Sumatera pada 1926 yang kemudian berakhir dengan kekalahan memilukan.

Bukan deret ukur kekalahan itu yang menjadi titik urgennya, melainkan bagaimana petani ini diperlakukan dalam sejarah saat mereka memperjuangkan hak dan menaikkan taraf kelasnya dari kemelaratan.

Jokowi dan partainya mesti memegang kendali panggung yang sudah ada di tangannya, di mana petani-petani resah saat ini. Bukan hanya resah soal pupuk bersubsidi. Bukan hanya jumlah keluarga petani susut rata-rata 500 ribu rumah tangga per tahun.

Jokowi dan PDIP mestinya berada di saf pertama mengajeni petani saat terlibat memperjuangkan hak-hak tanah dan airnya.

Kasus keresahan petani Rembang/Pati, Kulon Progo, Kebumen, Karawang, dan Takalar adalah uji kadar marhaenisme Jokowi dan partai pewaris nilai-nilai Sukarno tempat ia bernaung.

Atau momentum historis Presiden Ketujuh RI ini hanya dikenang sejarah sekadar mengalahkan Prabowo Subianto di gelanggang pemilu. Lain tidak! *

*******

Kolom/Artikel Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY