SENIN, 17 JULI 2017 | 01:23 WIB
Tri Winarno
Peneliti Senior Bank Indonesia
Fotografer : John Doddy Hidayat
Berbagai bank sentral utama dunia sedang menghadapi satu masalah: pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah telah mengalami akselerasi, tetapi inflasi gagal lepas landas. Tentu saja, pertumbuhan tanpa inflasi adalah suatu kombinasi ideal bagi setiap orang.
Namun bank sentral utama dunia telah memasang target pencapaian inflasi di bawah tetapi dekat dengan 2 persen, seperti Bank Sentral Eropa, bank sentral Jepang, dan bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed). Pada saat ini jelas terlihat mereka kesulitan bagaimana caranya mencapai target tersebut, padahal likuiditas sudah digelontorkan ke pasar secara besar-besaran.
Pada 2009, ketika pasar uang global limbung dan perekonomian dunia terjun bebas, The Fed mengambil langkah drastis, yaitu melakukan pembelian aset dengan skala masif untuk memompa likuiditas lebih kencang lagi-yang dikenal sebagai program kebijakan moneter pelonggaran kuantitas uang (quantitative easing/QE). Kemudian, selama 2014-2015, Bank Sentral Eropa melakukan langkah serupa tatkala deflasi menghantui Uni Eropa.
Langkah The Fed telah membantu menstabilkan pasar keuangan global. Bank Sentral Eropa juga mengklaim langkahnya telah menormalkan pasar keuangan. Namun pengaruhnya terlihat hanya berhenti sampai di situ.
Dampak dari akselerasi ekonomi adalah pengetatan di pasar tenaga kerja, yang seharusnya berimbas pada peningkatan upah pekerja dan akhirnya akan ditransmisikan pada kenaikan harga barang dan jasa. Tapi mekanisme itu, yang dikenal sebagai fenomena “Phillips curve”, tampaknya tidak berlaku dalam kasus ini.
Misalnya di AS dan Jepang, walaupun tingkat pengangguran sangat rendah, upah tidak mengalami peningkatan yang signifikan. Kalaupun ada sedikit kenaikan upah, sebagaimana yang terjadi di AS, tidak berdampak pada inflasi.
Alasan fundamental fenomena tersebut belum dapat dimengerti dengan baik. Tahun lalu, rendahnya harga minyak ditengarai sebagai penyebab tak adanya pengaruh pertumbuhan pada inflasi. Namun, tatkala harga minyak mulai pulih, inflasi tetap rendah, tak ada tanda-tanda terangkat ke atas.
Alasan lainnya, harga barang dan jasa cenderung turun terus karena diproduksi semakin efisien di negara-negara yang upah tenaga kerjanya relatif murah. Selain itu, margin keuntungan pengecer saat ini semakin turun karena kompetisi yang semakin tajam dengan penjualan lewat Internet.
Seolah-olah sekarang muncul fenomena “inflasi yang hilang” (missing inflation), khususnya untuk kasus Uni Eropa dan Jepang. Karena Bank Sentral Jepang (BOJ) dan bank sentral Eropa (ECB) mendefinisikan kesuksesannya dari pencapaian target inflasi, mereka kini mengalami kebingungan. ECB, khususnya, harus tetap melanjutkan kebijakan ekspansi moneternya, yang meliputi pelonggaran kuantitas moneter, sampai terlihat kenaikan inflasi yang signifikan.
Bagi The Fed, permasalahannya relatif ringan. Inflasi Amerika kini lebih tinggi daripada Uni Eropa dan Jepang. Di samping itu, The Fed punya mandat ganda: stabilitas harga dan penyerapan tenaga kerja optimal. Setelah tercapainya tenaga kerja penuh, The Fed dapat mendeklarasikan setengah kemenangan dan secara bertahap mulai meningkatkan suku bunganya.
Namun ada alasan lain mengapa fenomena “missing inflation” lebih bermasalah di Uni Eropa. Selama masa gelembung ekonomi terjadi di sana sebelum krisis 2008, harga dan upah meningkat cukup tajam di negara-negara pinggiran Eropa, relatif terhadap Jerman, sehingga negara-negara tersebut semakin tidak kompetitif. Begitu aliran dana asing masuk terhenti ke negara-negara itu, negara tersebut semakin tertekan dan mengharuskan mereka meningkatkan ekspor.
Sekarang Jerman berada pada tingkat tenaga kerja penuh, tetapi upah tidak meningkat lebih dari 2 persen-jauh lebih rendah daripada kenaikan upah sebesar 5 persen yang pernah dialami Jerman selama hampir 30 tahun. Lambatnya inflasi Jerman berdampak semakin tingginya surplus transaksi berjalan, yang juga berdampak semakin buruknya daya saing negara-negara Uni Eropa pinggiran relatif terhadap Jerman.
Masalahnya bukan pada target inflasi 2 persen. Kebijakan pelonggaran kuantitas moneter (QE) adalah kebijakan darurat. Padahal saat ini konstelasi ekonomi Uni Eropa berbeda jauh dari beberapa tahun yang lalu: pasar keuangannya telah membaik dan normal, kondisi pendanaan tersedia memadai, dan ekonomi mulai mengalami ekspansi.
Presiden ECB Mario Draghi baru-baru ini menyatakan dinamika reflasi bertahan lama dan rendah menandakan bahwa target inflasi 2 persen untuk Uni Eropa sulit dicapai. Pasar menyimpulkan bahwa, dengan perkembangan saat ini, program tingkat bunga negatif dan pembelian aset tidak lagi dapat diteruskan. ECB dengan cepat menyangkal interpretasi pasar tersebut, sehingga pasar normal kembali.
Sebenarnya ECB dapat menyatakan bahwa kebijakan moneternya telah berhasil melawan deflasi sehingga ECB dapat segera keluar dari kebijakan daruratnya. Namun hal ini dilematis bagi ECB dan bank sentral utama lainnya, yang telah menargetkan inflasi 2 persen dan terlihat mereka semakin terjebak oleh target itu. Maka dapat dipastikan bahwa dalam beberapa waktu ke depan likuiditas moneter dunia masih akan tetap berlimpah selama target inflasi mereka belum ada tanda-tanda tercapai.
*********
Opini Tempo.co