Seno Joko Suyono
senojokosuyono@gmail.com
Garut News ( Sabtu, 15/02 – 2014 ).
Mungkin baru pertama kali ada seorang camat dan lurah dari Indonesia berbicara di Fukuoka Asia Art Museum, Jepang.
Itu yang terjadi pada Minggu lalu.
Camat Jatiwangi, Ono Haryono, dan Lurah Desa Jatisura, Ginggi Syarif Hasyim–keduanya pejabat desa di bawah Kabupaten Majalengka–diundang mengikuti pameran seni rupa kontemporer: Mapping the Unmapped.
Museum Fukuoka meminta mereka mempresentasikan kegiatan seni kontemporer di desanya.
Awalnya adalah kedatangan kurator Masahiro Ushiroshoji di acara Festival OK Video di Galeri Nasional yang digagas komunitas Ruang Rupa.
Ia tertarik dengan video karya Jatiwangi Art Factory (JAF).
Video itu menayangkan bagaimana camat menggalang ribuan warga desa berikrar setia pada genting.
Jatiwangi dikenal sebagai kawasan pembuat genting.
JAF sendiri adalah sebuah komunitas yang didirikan seniman Arief Yudhi.
Sejak 2006, ia aktif mengundang seniman-seniman internasional untuk residensi.
Dan hasilnya tak terduga, perupa dari Brasil sampai Mongolia mau tidur di rumah penduduk, mengikuti pembakaran tanah liat tradisional, lalu menciptakan karya.
Undangan Museum Fukuoka semakin meyakinkan Camat dan Lurah bahwa memang visi-visi kreatif JAF perlu didukung.
Apalagi menyongsong penerapan Undang-Undang Desa Tahun 2015.
Seperti kita ketahui, undang-undang ini akan membawa perubahan besar pada wajah desa kita.
Ada 72.944 desa yang bakal diberi Rp 1,2 miliar setiap tahun.
Desa-desa bisa membuat badan-badan usaha sendiri, pabrik-pabrik seperti di Cina, atau apa saja demi kemajuan desa. Kini Peraturan Presiden (Perpres)–pedoman pengimplementasian UU Desa–tengah digodok.
Yang menjadi soal adalah bila desa tak memiliki program terencana semenjak awal.
Sebuah desa yang tak siap, bisa terlanda konflik dan korupsi.
Sebelum Pak Camat dan Pak Lurah berangkat ke Fukuoka, saya sempat bertanya apa yang mereka bayangkan tentang UU Desa?
Pertama-tama mereka berpendapat harus digunakan untuk mengembangkan sumber daya dan infrastruktur desa.
Jatiwangi sendiri lima tahun ke depan akan berubah.
Sebuah bandara internasional dibangun di kawasan Kertajati, yang hanya lima belas menit dari Jatiwangi.
Juga ratusan pabrik tekstil akan didirikan di sekitar Majalengka.
“Itu akan mengubah pola sosial budaya kami,” kata Pak Lurah.
Ia berkisah, pada 1980-1990-an, di Jatiwangi ada sekitar tiga ratusan pabrik genting.
Mereka menguasai suplai perumahan Jawa barat.
Tapi, kemudian krisis. Dan kini tinggal 100-an.
Itulah sebabnya Camat membayangkan di masa depan bakal memanfaatkan semua sarana itu dan merevitalisasi kerajinan tanah liat serta menjadikan industri kreatif dengan menggunakan jaringan internasional yang dimiliki JAF.
Mungkin, Jatiwangi adalah contoh kecil.
Desa ini sedikit banyak memiliki bayangan ke depan.
Entah terlaksana atau tidak.
Minggu lalu, dua belas perupa Polandia dari Kota Poznan dipimpin kurator Krzystof Lukomski? yang selama 8 hari menginap di markas JAF, juga mewawancarai aparat-aparat desa? mengorek harapan dan kecemasan mereka.
Kita duga ratusan atau mungkin ribuan desa lain di seantero Indonesia masih belum memiliki orientasi saat dana dikucurkan, masih meraba-raba apa program mereka.
Undang-undang desa adalah sebuah eksperimen besar yang menantang. *
*****
Kolom/artikel Tempo.co