Garut News ( senin, 02/12 ).
Mereka terlalu mudah iba hati pada pengemis jalanan kini mesti lebih terbuka pikirannya setelah mendengar kisah Walang dan Saaran.
Dua pengemis tua ini tertangkap di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, oleh petugas Suku Dinas Sosial Jakarta.
Dari mereka, disita hasil mengemis, yaitu uang sebesar Rp25 juta.
Tumpukan uang lusuh itu mereka kumpulkan dari mengemis selama dua pekan.
Kisah nyata ini semestinya membuka pikiran kita, pengemis tak kudu dikasihani.
Masyarakat juga mesti paham, memberikan uang pada pengemis melanggar hukum.
Kisah perolehan uang mengemis sebesar gaji sebulan eksekutif perusahaan menengah itu, sebetulnya tak mengejutkan.
Tahun lalu, Dinas Sosial Jakarta pernah mendata jumlah perolehan pengemis di lampu-lampu lalu lintas.
Hasilnya, seorang pengemis bisa mendapatkan uang Rp150 ribu hingga Rp700 ribu sehari.
Petugas bahkan ada membuntuti para pengemis itu hingga ke kampungnya di Jawa Barat.
Di sana, banyak di antara pengemis itu ternyata memiliki rumah permanen, sawah, atau kebun.
Jelaslah, mengemis pekerjaan menggiurkan.
Tak seperti banyak dibayangkan orang, mengemis bukan lagi cara mendapatkan recehan demi bertahan hidup di kota.
Ini pekerjaan mudah dengan hasil besar ketimbang menjadi kuli.
Tak mengherankan jika banyak menjadi organisator pengemis.
Mereka menjemput pengemis dari kampungnya, mengerahkannya ke Jakarta, lalu menerima setoran dari hasil mengemis.
Sebetulnya pemerintah Jakarta dibekali aturan cukup keras memberantas para pengemis itu.
Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 8/2007 tentang Ketertiban Umum menyebutkan pengemis ataupun pemberi uang bisa dihukum.
Ancaman bagi mereka cukup tinggi, kurungan hingga 60 hari, dan denda sampai Rp20 juta.
Namun semua ini nyaris tak ada artinya lantaran razia pengemis tak berlangsung kontinu.
Masyarakat pun ikut memersulit pemberantasan.
Dengan alasan tak tega, atawa lantaran merasa kudu menjalankan niat berbagi dengan kaum duafa, mereka tetap memberi uang.
Seolah tercipta simbiosis antara merasa kudu berbagi, dan pengemis tahu persis mudahnya memancing rasa iba masyarakat.
Simbiosis itulah, semestinya diputus.
Merazia pengemis, mengumpulkannya di panti-panti sosial, lalu memulangkannya tak efektif.
Membina mereka menjalani pekerjaan lain pun percuma.
Mereka tahu persis mengemis jauh lebih banyak menghasilkan uang.
Begitu dipulangkan ke kampungnya, tak lama kemudian mereka muncul kembali di Jakarta.
Jumlah aparat ketertiban umum pun terbatas menangani pengemis di Jakarta, saat ini mencapai 20 ribu lebih.
Semestinya kisah duet “pengemis kaya” Walang dan Saaran ini digunakan momentum menyosialisasi larangan memberikan uang pada pengemis.
Sosialisasi seperti ini jarang dilakukan.
Padahal banyak orang tak tahu “bederma” pada pengemis melanggar peraturan.
Sosialisasi melalui penempelan isi perda larangan mengemis, dan memberikan uang di pinggir-pinggir jalan saja tak cukup.
Lebih efektif bila pemerintah melakukan sosialisasi dengan berbagai iklan layanan masyarakat melalui media massa.
Memberi efek jera pun mesti dilakukan.
Saatnya perda itu ditegakkan dengan mendenda pemberi uang pada pengemis.
Masyarakat kudu sadar, ketimbang memberikan uang pada pengemis, lebih baik menyalurkan uangnya ke panti-panti sosial.
**** Opini/Tempo.co