Esay/Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Sabtu, 31/10 – 2015 ).

Foto berita Garut News pada akhir pekan ini juga akhir Oktober 2015, atawa Sabtu (31/10-2015), memotret ritme pergumulan sangat sulitnya denyut nadi ekonomi kehidupan seorang janda miskin asal Sukawening, Garut, Jawa Barat.
Selama ini dia masih tetap berobsesi mewujudkan kecerdasan satu-satunya anak kandungnya.
Meski hanya mengandalkan penghasilan kuli pemecah batu dari penambangan lintasan dasar Sungai Cimanuk di Kampung Cimacan.

Janda enggan menyebutkan nama tersebut, mengaku sejak beberapa tahun lalu ditinggal wafat suaminya, ikhlas membanting tulang sendirian menafkahi diri serta satu anaknya yang kini duduk di bangku kelas enam “Sekolah Dasar” Muhammadiyah.
“Sekolah anak ini tak jauh dari Perkampungan Cimacan, malahan nanti pun melanjutkan pada sekolah masih berdekatan dengan rumah kontrakan saya di Cimacan,” ungkap perempuan berusia sekitar 45 tahun itu.
Dikemukakan, sangat mengharapkan anak satu-satunya ini bisa menamatkan sekolah tinggi.

Agar hidup tak susah seperti dirinya, tutur janda yang juga mengaku tak berminat repot memiliki suami lagi.
Kendati selama ini, setiap dua hari hanya bisa memproduk satu kubik batu split.
Dengan harga jual berkisar Rp150 ribu hingga Rp200 ribu.
Kemudian dari hasil penjualan tersebut dibagi dua dengan mitra usaha lainnya.
Sehingga setiap dua hari hanya berpenghasilan Rp75 ribu hingga Rp100 ribu.

Namun pekerjaan memecah batunya berlangsung setiap hari sejak pagi hingga pukul 16.00 WIB, bebernya.
Sedangkan sepanjang musim kemarau berkepanjangan di Garut, hingga akhir Oktober 2015 masih belum dibasahi curah hujan.
Antara lain menjadikan Kampung Cimacan berlokasi seputar pusat kota tersebut, tak lagi “segarang macan”, melainkan menjadikan produktivitas pencari pasir sungai pun melorot drastis.
Lantaran perkampungan dihuni ratusan hingga ribuan penduduk pada bantaran sepanjang lintasan “Daerah Aliran Sungai” (DAS) Cimanuk itu, kerap banyak terendam nyaris setiap diguyur hujan deras musim penghujan.

Sedangkan pada kemarau panjang selama ini, mereka bisa terbebas dari bahaya luapan banjir sungai, tetapi penghasilan penduduknya sebagaian besar pencari pasir di sungai, menurun drastis hingga mencapai lebih 75 persen.
Sebab semula setiap kepala keluarga rata-rata bisa memproduksi 3,5 kubik pasir, atawa satu truk pasir setiap hari.
Namun pada kemarau ini hanya bisa menghasilkan dibawah 1,5 kubik.
Sehingga terdapat sebagian besar penduduk terpaksa banting setir menjadi pemecah batu sungai, kendati bernilai jual hanya 150 ribu setiap kubik.

Sedangkan kapasitas produksi seorang pemecah batu sungai, umumnya dikerjakan kaum perempuan, hanya berkisar 0,25 kubik setiap harinya.
Dalam pada itu, kini ribuan hektare sawah tersebar pada nyaris seluruh 42 wilayah kecamatan di kabupaten ini, mengalami kekeringan parah.
Masing-masing, mengalami kekeringan berkondisi ringan, sedang, berat, dan berkondisi puso atawa gagal panen sekitar.
Terdapat pula lahan lainnya semakin terancam kekeringan parah pada kemarau berkepanjangan ini.

Pada wilayah utara, kekeringan meranggas Kecamatan Leuwigoong, Cibatu, Cibiuk, dan lainnya.
Disusul wilayah tengah berlangsung di Karangpawitan, Wanaraja, dan lainnya.
Kemudian pada wilayah selatan Kabupaten Garut.
Antara lain Kecamatan Mekarmukti, Cisompet, Caringin, Peundeuy, Bungbulang, serta Pameungpeuk.
*******