Tulus Abadi, Pengamat Transportasi
Garut News ( Senin, 18/11 ).
Mengatasi kemacetan di Jakarta dengan enam ruas tol?
Kota yang hebat bukanlah kota yang banyak jalan tolnya, melainkan kota yang anak kecilnya bisa bermain sepeda dengan nyaman dan aman.
Itulah tesis Enrique Penalosa, Wali Kota Bogota, Kolombia, Amerika Latin, periode 1998-2001.
Jika percikan permenungan semacam itu menjadi basis Gubernur Joko Widodo (Jokowi) dalam mengelola Jakarta, niscaya program Jakarta Baru benar-benar akan terwujud.
Jakarta akan bertiwikrama menjadi kota yang amat manusiawi untuk ditinggali (liveable city): bebas macet, bebas polusi, bebas banjir pula.
Tapi kini yang terjadi (mungkin) malah sebaliknya.
Gubernur Joko Widodo mulai berkompromi dengan kebijakan yang instan: pembangunan enam ruas tol dalam kota.
Ini kebijakan yang kontraproduktif untuk menuju Jakarta Baru.
Jokowi bersama Wakil Gubernur Basuki Tjahaya Purnama berbalik arah mendukung pembangunan enam ruas tol dalam kota.
Bahkan, Jokowi memberi sinyal untuk membiayai sendiri proyek tersebut dengan anggaran Rp 40 triliun.
Padahal, proyek enam ruas jalan tol (69,77 kilometer) merupakan domainnya Kementerian Pekerjaan Umum (PU).
Senyum Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto pun merekah dengan sinyal Jokowi.
Sebuah ironi yang amat besar jika Jokowi menjatuhkan pilihan pada kebijakan ini.
Alasannya, pertama, Jokowi mengingkari janjinya saat berkampanye menjadi calon Gubernur DKI Jakarta.
Kala itu, ia dengan tegas menolak rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun enam ruas tol yang dimaksudkan.
Kedua, ini juga wujud ingkar janji Jokowi yang selama ini gemar mengusung terminologi move people, not car.
Yang artinya, Jokowi akan memprioritaskan perbaikan angkutan umum (massal) daripada membangun infstruktur yang menganakemaskan pengguna kendaraan pribadi (jalan tol).
Ketiga, Jokowi benar-benar tersihir oleh data statistik yang menunjukkan bahwa pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta tak sebanding dengan pertumbuhan pembangunan jalan raya.
Jokowi juga tersihir oleh fakta bahwa luas ruas jalan di Jakarta masih minim, yakni hanya 8 persen dari total luas Ibu Kota.
Keempat, Jokowi juga tak konsisten dengan sikapnya yang getol menolak kebijakan mobil murah low-cost green car (LCGC).
Jokowi menolak kebijakan LCGC karena hal itu akan menambah macet kota Jakarta.
Lalu, apa bedanya dengan enam ruas jalan tol dalam kota, yang tak lebih dan tak kurang juga merupakan karpet merah untuk menuju kiamat lalu lintas Kota Jakarta?
Pada akhirnya, sikap Jokowi dalam hal ini setali tiga uang dengan pemerintah pusat (Presiden Yudhoyono).
Seharunya Jokowi benar-benar berfokus merevitalisasi angkutan umum bus sedang dan bus kecil, merevitalisasi pengelolaan Transjakarta, menyelesaikan pembangunan MRT dan monorel, dan mengurusi sederet perbaikan infrastruktur transportasi publik lainnya.
Adalah mimpi di siang bolong jika ingin mengatasi kemacetan di Jakarta dengan cara membangun enam ruas tol dalam kota.
Lupakan dan tinggalkan rencana itu karena hanya akan menyulap Kota Jakarta menjadi neraka. *
**** Sumber : Kolom/artikel Tempo.co