Garut News ( Jum;at, 13/06 – 2014 ).
Betapa lamban Jakarta menerapkan electronic road pricing.
Bertahun-tahun sistem jalan berbayar ini dibicarakan tetapi tak kunjung dilaksanakan.
Bahkan sampai sekarang Dewan Perwakilan Rakyat belum selesai membuat peraturan daerah mendukung rencana itu.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama terlihat sudah tidak sabar.
Uji coba ERP segera dilakukan kendati aturannya belum siap.
DKI juga mulai menyaring perusahaan berminat menangani proyek ini.
Diharapkan, begitu peraturan daerah memuat retribusi jalan berbayar disahkan, ERP langsung bisa segera diberlakukan.
Aparat pemerintah daerah semestinya lebih sigap menyiapkan aturan mengenai ERP.
Begitu pula anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI.
Sebagian warga Jakarta tak sabar menunggu kebijakan bisa mengurai kemacetan itu.
Setiap hari orang tersiksa di jalan raya lantaran lalu lintas padat.
Sistem jalan berbayar urutan pertama di antara 17 langkah kebijakan pemerintah mengatasi kemacetan Jakarta, diumumkan September 2010.
Ketika itu Wakil Presiden Boediono menginstruksikan pelaksanaan pelbagai langkah mengatasi kemacetan.
Langkah lainnya membangun sarana mass rapid transit, dan memercepat proyek double track kereta dari Cikarang ke Jakarta.
Empat tahun kemudian, hampir semua langkah itu belum bisa dilaksanakan hingga tuntas.
Pemerintah pusat seharusnya segera kembali turun tangan, terutama menyangkut proyek lintas provinsi seperti kebijakan transportasi terpadu di Jakarta, dan sekitarnya.
Semua itu menunjukkan cara kerja birokrat kita serba lamban.
Mereka tak mampu mencari solusi cepat mengatasi kendala muncul pada setiap pelaksanaan proyek.
Padahal semua langkah itu amat bermanfaat bagi publik.
Proyek ERP, misalnya, jelas mengurangi kepadatan lalu lintas.
Apalagi kebijakan 3 in 1 atau “satu mobil berpenumpang minimal tiga orang” tak efektif lagi.
Dengan ERP, orang berpikir dua kali sebelum mengendarai mobil setiap hari di Jakarta.
Sedhingga, diharapkan sebagian di antara mereka beralih ke kendaraan umum.
Langkah ini terbukti efektif mengendalikan kepadatan lalu lintas di kota-kota seperti Hong Kong, Singapura, dan Oslo.
Para pejabat bisa membayangkan betapa besar mudarat lantaran kemacetan.
Kerugian akibat kemacetan di DKI selama ini mencapai Rp12,8 triliun per tahun, dihitung dari biaya operasional kendaraan dan stres masyarakat setiap hari terjebak kemacetan.
Kecepatan rata-rata kendaraan di Jakarta hanya 8,3 kilometer per jam, jauh di bawah standar pelayanan minimum 20 kilometer per jam.
Di tengah keadaan seperti itu, tidaklah pantas para birokrat dan anggota DPRD terkesan berleha-leha.
Publik tak sabar apabila kudu menunggu penerapan ERP hingga tahun depan.
Seharusnya pembuatan perda, dan tender proyek itu bisa dipercepat.
*******
Opini/Tempo.co