Jakarta Darurat Limbah

Jakarta Darurat Limbah

840
0
SHARE

Jakarta, Garut News ( Senin, 26/05 – 2014 ).

Ilustrasi. Masih banyak warga Garut, Jawa Barat, Buang Air Sembarangan. (Foto: John Doddy Hidayat).
Ilustrasi. Masih banyak warga Garut, Jawa Barat, Buang Air Sembarangan. (Foto: John Doddy Hidayat).

Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membangun 15 instalasi pengolah limbah domestik sampai 2050 perlu didukung kendati amat terlambat.

Sampai kini Ibu Kota hanya memiliki satu zona pengolah limbah rumah tangga.

Ini jelas tak cukup menampung limbah sekitar 9 juta penduduk.

Kelalaian pemerintah daerah mengantisipasi melonjaknya volume air buangan limbah ini kudu dibayar mahal.

Badan Pengelola Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat tak kurang dari 80 persen air tanah dangkal, dan air permukaan di Jakarta kini tercemar bakteri E. coli.

Persentase sebaran bakteri penyebab diare setinggi itu amat mengkhawatirkan.

Satu zona instalasi pengolah limbah domestik megapolitan sebesar Jakarta hanya bisa melayani empat persen total buangan air limbah dihasilkan warga setiap hari.

Angka ini jauh lebih rendah dibanding di kota-kota lain di Asia Tenggara.

Di Kuala Lumpur, misalnya, lebih dari 90 persen limbah dibuang lewat jaringan pipa pengolahan.

Bahkan Bangkok, kepadatan penduduk dan tingkat kesemrawutannya sering disetarakan Jakarta, memiliki jaringan pipa pengolah untuk 40 persen buangan air kotornya.

Amat memprihatinkan mendengar pernyataan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah DKI Jakarta Andi Baso Mappapoleonro.

Ketika ditanya ihwal keterlambatan pembangunan instalasi pengolahan air limbah ini, ia mengatakan, “Kami lupa.”

Menurut Andi, selama ini pemerintah daerah terlampau berkonsentrasi menyelesaikan persoalan kemacetan dan banjir, serta lalai mengurusi air limbah.

Jawaban Direktur Perusahaan Daerah Pengelolaan Air Limbah Yudi Indardo lebih membuat miris.

“Jepang saja butuh 100 tahun,” katanya, seolah meminta permakluman.

Jawaban semacam itu menunjukkan pejabat DKI tak punya sense of crisis.

Ketiadaan instalasi pengolahan limbah rumah tangga tak hanya mencemari air di permukaan.

Dalam jangka panjang, juga bisa merusak kualitas air tanah.

Jika semua sumber air bersih di Jakarta tercemar limbah tak terolah optimal, ledakan epidemi tinggal menunggu waktu saja.

Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman banyak kota besar di negara maju.

Pengolahan sampah, dan limbah rumah tangga prioritas begitu populasi kota mulai bertambah.

Tanpa hal itu, kota kumuh, kotor, dan jadi sumber penyakit.

Jakarta tak bisa dibiarkan meraksasa tanpa cetak biru pengembangan komprehensif.

Pejabat DKI tak boleh mengaku lupa memersiapkan infrastruktur, dan pelbagai fasilitas umum penting untuk warga.

Praktek keliru selama ini terjadi tak boleh berlanjut lantaran membuat kota ini kurang layak huni.

Pemerintah pusat tentu tak bisa lepas tangan.

Mereka wajib mengingatkan aparatur pemerintah daerah tak punya cetak biru rencana pengembangan kota.

Jakarta, sebagai kota terbesar di Indonesia, seharusnya menjadi contoh buat kota-kota besar lainnya.

******

Opini/Tempo.co

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY