Goenawan Mohamad
Fotografer : John Doddy Hidayat
Garut News ( Ahad, 19/02 – 2017 ).
Kampanye politik adalah kata, adalah gambar, adalah kata, dan selebihnya sinisme.
Namanya J. Ia “konsultan politik”. Ia dibayar mahal, meskipun ia enggan mengakui itu. Berhari-hari ia akan merancang siasat untuk memenangkan tokoh yang menyewanya dalam pemilihan. Ia akan merapat ke sang calon, memberinya sejumlah ide untuk dikemukakan, mengajarinya menyusun kata dalam berdebat dan pidato, menata bagaimana si tokoh harus tampil di televisi. “Di depan kamera nanti, coba pasang wajah yang lembut. Coba menangis sedikit ketika menyebut keadaan putra Anda.”
Dan si politikus menurut. Dan esoknya, dalam pol, angka elektabilitasnya naik.
Namanya J. Ia memulai bisnisnya dengan mengenal betapa dahsyatnya kekuasaan: sesuatu yang dapat menyebabkan seseorang sangat menginginkannya, hingga menggelikan, atau menjijikkan, karena tak mengenal lagi rasa malu dan dalam 18 jam sehari bersedia berpura-pura.
J tahu psikologi orang ramai. Katanya kepada sang calon: “Orang-orang akan lupa apa yang Anda katakan, tapi mereka ingat perasaan mereka ketika mendengar kata-kata Anda.” Dengan kata lain, emosi yang terbit yang menentukan, bukan isi yang dicerna.
Dan ia mengutip kata-kata Machiavelli. Atau Sun Tzu. Atau Muhammad Ali.
Tentu, kalimat-kalimat yang pas diingat buat sebuah pertempuran. Di depan timnya, saat persaingan mengeras dan kalah bukan mustahil, J berteriak: “Hei bangun, ini perang! Dan hanya ada satu kesalahan di sini, hanya satu, yaitu kalah!”
Namanya J. Ia konsultan politik yang berapi-api. Ia tak segan-segan membahayakan nyawa orang untuk menang, menang apa saja-misalnya berpacu di tepi jurang melawan bus kampanye yang dinaiki lawan.
Karena ia memimpin kampanye, ia pemegang komando. Pelan-pelan terasa, yang berkuasa bukan sang calon.
Tentu saja sang calon kadang-kadang tersinggung, karena ia yang punya uang, karena ia tokoh.
Calon: “Memangnya kamu yang nyewa aku?”
J: “Bukan begitu….”
Calon: “Aku yang nyewa kamu!”
J: “Bukan…. Tak ada yang bisa menyewa saya. Kecuali kalau…. Ya, ya. Secara teknis, ya, saya yang disewa.”
Di sebuah kesempatan lain, sang calon mengingatkan lagi: “Aku yang berkuasa. Kamu ngerti enggak…? Aku bukan boneka yang bisa kamu mainkan.”
J: “Anda memang boneka! Anda memang boneka. Juga saya…. Kita ini cuma pion.”
(Dari jauh, dari tepi panggung yang tak terlihat, kita tak tahu siapa pemain catur sebenarnya. Mungkin tak ada. Mungkin permainan catur itu dimainkan sebuah energi yang dalam lakon Macbeth disebut sebagai “vaulting ambition”, “ambisi yang menjulang”.)
Jadi apa demokrasi sebenarnya? Di mata J, demokrasi adalah sebuah mekanisme seseorang ke sebuah takhta dengan menggunakan dukungan orang banyak.
Memang pernah orang percaya bahwa demokrasi, dengan proses pemungutan suaranya, adalah cara terbaik untuk mengetahui apa yang dikehendaki orang banyak ketika memilih seorang gubernur atau presiden, orang yang akan bertugas sebagai manajer perubahan. Mungkin J dulu juga percaya teori itu, tapi kini tidak lagi.
Politik, baginya, menyiapkan kita untuk kecele. “Mulai dengan janji-janji gede, dan ujungnya ternyata tahi anjing…,” kata J. “Jika pemungutan suara memang bisa mengubah keadaan, tentunya pemilihan umum akan dilarang.”
Para pembaca, bukan saya yang mengarang dialog di atas. Saya hanya menerjemahkannya secara bebas dari skenario Peter Straughan untuk film Our Brand Is Crisis yang beredar dua tahun lalu. Dalam film itu, “J” adalah “Jane Bodine”, dimainkan Sandra Bullock.
Perempuan ini segumpal sinisme. Baginya politik tak ada hubungannya dengan moral dan nilai. Ia tak percaya ada yang disebut “yang baik”. Ia hanya percaya bahwa politik, sebagai perang, harus siap brutal.
Segala tipu daya harus dipakai: tangis palsu, berita palsu, janji palsu. Jangan gentar jika akibatnya adalah kaburnya mana yang patut dan tak patut, benar atau tak benar, adil atau tak adil. Kata Jane: “Kalau mau menang, kau mesti ambil risiko.”
Temannya mengingatkan: “Jika kamu terlalu lama bersama setan alas, lama-lama kamu sendiri jadi setan alas.”
Setan alas tak pernah bermaksud menyelamatkan sebuah negeri dengan politik. Setan alas hanya menegaskan apa yang suram tapi nyata: dalam proses politik tak ada dialogic democracy seperti dibayangkan Anthony Giddens. Tak ada ruang yang bisa dihidupkan dengan dialog, yang memungkinkan adanya “mechanisms of active trust”. Saling percaya tak ada dan tak perlu ada.
Saya kira si setan alas benar-sedikit. Di masyarakat seperti Indonesia, politik bisa merupakan antagonisme. Tapi ada sesuatu dalam kehidupan manusia yang berubah, pelan atau cepat, ketika bertemu dengan manusia lain: tidak hanya berubah dari percakapan menjadi perang, tapi juga dari perang menjadi percakapan.
*******
Tempo.co