Darmaningtyas, Aktivis Pendidikan dari Tamansiswa
Jakarta, Garut News ( Jum’at, 27/12 ).
Bidang pendidikan sepanjang 2013 sarat dengan isu yang memprihatinkan, antara lain masalah penerapan kurikulum baru yang tergesa-gesa, tertundanya pelaksanaan ujian nasional (UN) di 11 provinsi, keterlambatan pembayaran beasiswa mahasiswa berprestasi (Bidik Misi), rendahnya kualitas buku pelajaran di sekolah sehingga disusupi oleh pornografi, atau bahkan munculnya tindakan amoral di lingkungan sekolah, masih adanya kekerasan di lingkungan kampus/sekolah, serta daya serap anggaran pendidikan yang tidak maksimal.
Semua itu memberi kesan bahwa pendidikan nasional sarat dengan permasalahan yang krusial.
Dalam penerapan Kurikulum 2013, ada masalah kurangnya persiapan dalam penerapannya.
Hal ini tecermin dari merosotnya target implementasi, yang semula 30 persen dari total sekolah menjadi sekitar 2 persen (6.213 sekolah) saja.
Selain soal minimnya soasialisasi mengenai konsep kurikulum baru, bukunya terlambat dicetak dengan alasan adanya penundaan pencairan anggaran dari Kementerian Keuangan.
Buku baru dapat didistribusikan ke sekolah saat permulaan Tahun Ajaran Baru, Juli 2013.
Keterlambatan pengadaan buku berdampak tertundanya pelatihan guru karena buku itulah yang menjadi salah satu materi pelatihan.
Karena pelatihan gurunya amat singkat, wajar bila pada tingkat implementasi, banyak guru, terutama guru SD, bingung saat akan mengisi buku rapor.
Hal itu terjadi karena adanya perubahan model penilaian, tapi perubahannya tidak diberikan pada saat pelatihan.
Ketertundaan juga terjadi pada pelaksanaan ujian nasional di 11 provinsi akibat distribusi soal yang terlambat, yang disebabkan oleh dua hal.
Pertama, secara obyektif, ada penundaan pencairan anggaran dari Kementerian Keuangan yang berakibat tertundanya proses lelang cetak dan distribusi soal UN.
Kedua, mekanisme lelang buruk, sehingga perusahaan yang belum berpengalaman mencetak/mendistribusikan soal UN secara nasional menang lelang.
Buntut dari penundaan pelaksanaan UN ini adalah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Kemdikbud, Khairil Anwar R., mengundurkan diri.
Tertundanya pencairan anggaran dari Kementerian Keuangan juga menyebabkan keterlambatan pembayaran beasiswa Bidik Misi hingga empat bulan.
Juga boleh jadi anggaran terblokir beberapa bulan itulah yang menyebabkan daya serap anggaran di Kemdikbud tidak maksimal-yang sampai pertengahan Desember 2013 baru sekitar 74 persen-selain karena memang ada faktor internal (manajemen yang lemah).
Kurang optimalnya daya serap anggaran dapat menimbulkan problem besar bagi Kemdikbud karena permintaan tambahan anggaran untuk 2014 sulit terpenuhi dengan alasan anggaran yang kecil saja tidak terserap semua, apalagi ditambah.
Dalam mengalokasikan anggaran, Kementerian Keuangan selalu melihat dari daya serap anggaran sebelumnya.
Tapi, bila tidak ada tambahan anggaran, berarti akan berpengaruh terhadap pelaksanaan program-program unggulan, termasuk implementasi Kurikulum 2013.
Praksis pendidikan nasional, selain dihadapkan pada persoalan yang bersumber pada anggaran, bersumber dari lemahnya peran pengawasan dari Kemdikbud.
Hal itu tampak jelas dari munculnya sejumlah buku (LKS) Lembar Kerja Siswa untuk SD di beberapa sekolah yang memuat teks atau ilustrasi yang tidak pantas untuk murid-murid SD.
Dan, terhadap persoalan tersebut, muncul saling lempar tanggung jawab dari kepala sekolah, dinas pendidikan, dan Kemdibud.
Pihak Kementerian dan Dinas Pendidikan selalu berdalih bahwa LKS itu domain sekolah.
Sedangkan dalam realitanya, sekolah tidak bisa menentukan buku LKS-nya sendiri, selalu menunggu rekomendasi dari Dinas Pendidikan setempat.
Dengan kata lain, dinas ataupun Kementerian tidak bisa lepas tanggung jawab atas penyimpangan terhadap materi pelajaran.
Demikian pula ketika sejumlah murid terlibat dalam perbuatan asusila di lingkungan sekolah atau munculnya tindak kekerasan di kampus, seperti meninggalnya seorang mahasiswa baru di Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, Jawa Timur, pada saat ospek, pihak Kemdikbud tidak bisa lepas tanggung jawab.
Meskipun pendidikan merupakan sektor yang diotonomikan, dengan kendali anggaran pendidikan, bukan berarti pusat lepas tanggung jawab sama sekali.
Kemdikbud tetap memiliki peran kontrol terhadap sekolah ataupun kampus.
Kemdikbud dapat mengeliminasi kekerasan di kampus dengan membuat regulasi yang ketat, dari penurunan nilai akreditasi hingga pencabutan izin operasional bagi yang masih tetap melanggar.
Adapun sekolah-sekolah yang lemah dalam mengontrol muridnya, sehingga terjadi perbuatan asusila di lingkungan sekolah, dapat dikenai sanksi penurunan nilai akreditasi.
Pada umumnya, kepala sekolah dan kepala dinas takut terkena sanksi penurunan nilai akreditasi, karena itu akan berimbas pada karier ataupun pada masa depan sekolahnya.
Semoga pelaksanaan program pendidikan 2014 bisa lebih profesional, manusiawi, dan sekaligus transparan.
***** Kolom/artikel Tempo.co