Senin , 15 Mei 2017, 06:00 WIB
Red: Maman Sudiaman
Oleh : Ikhwanul Kiram Mashuri
REPUBLIKA.CO.ID, Islamofobia atau Islamophobia adalah istilah yang menunjukkan sikap takut sekaligus benci terhadap Islam dan umat Islam. Istilah ini mengemuka pada pertengahan 90-an abad lalu setelah muncul dalam tulisan yang dirilis sebuah lembaga sipil Inggris yang dipimpin seorang Muslim yang juga wakil rektor Universitas Sussex, Inggris.
Dalam tulisan itu, Islamophobia dijelaskan sebagai prasangka, rasa takut, dan kebencian terhadap Islam dan umat Islam.
Pada 1997, sebuah lembaga kajian di Inggris, Runnymede Trust, mendefinisikan Islamophobia sebagai ‘rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan, oleh karena itu, juga pada semua umat Islam’.
Dijelaskan pula bahwa dalam istilah Islamophobia, Islam dipersepsikan tidak mempunyai norma yang sesuai dengan budaya lain. Lebih rendah dibanding budaya Barat dan lebih berupa ideologi politik yang bengis daripada berupa suatu agama.
Islamophobia ini semakin meningkat ketika terjadi serangan 11 September 2001. Serangan ke gedung pencakar langit World Trade Center di New York yang dilancarkan Alqaida ini telah menewaskan lebih dari 3 ribu warga. Sejak itu kebencian terhadap Islam dan umat Islam di sejumlah negara Barat pun semakin banyak dialami oleh para warga beragama Islam.
Peningkatan Islamophobia ini juga dipicu oleh perkembangan di Timur Tengah. Meskipun Alqaida berhasil dihancurkan dan pemimpinnya Usamah bin Ladin telah dibunuh, namun ternyata kelompok-kelompok radikalis dan teroris justru bertumbuh subur di sejumlah negara Arab. Puncaknya adalah ketika muncul kelompok yang menamakan diri sebagai Islamic State of Iraq and Syria alias ISIS.
Walaupun berbasis di Irak dan Suriah, namun sepak terjang ISIS sudah melampaui batas-batas negara. Berbagai teror mereka lancarkan di sejumlah negara Arab dan beberapa negara Barat. Bahkan setiap ada serangan teror di mana pun akan mereka akui sebagai pelakunya.
Dan, bagaikan sebuah koor, media dan para pemimpin Barat pun ikut menyanyikan lagu ISIS. Mereka percaya begitu saja setiap serangan bom pelakunya adalah ISIS dan kaki tangannya.
Hal inilah yang juga berlangsung ketika terjadi serangan teror di depan gedung parlemen Inggris di London beberapa waktu lalu. Pada awalnya pers Inggris menyebut pelakunya adalah teroris Muslim. Namun, beberapa hari kemudian mereka mengoreksinya, si pelaku tidak ada hubungannya dengan Islam.
Khalid Masood, si pelaku, ternyata penjahat kambuhan. Ia dikenal dalam catatan kriminal polisi. Ia pernah masuk penjara dan dihukum beberapa kali karena kejahatannya.
Beberapa pekan sebelumnya, Ziad Belkacem tewas ditembak polisi di Bandara Orly, Prancis. Ia dituduh sebagai teroris Muslim. Namun setelah diotopsi, ternyata ia seorang pemabuk dan positif pengguna narkoba. Kepada wartawan, ayahnya mengaku anaknya suka mabuk dan pesta narkoba. Anaknya juga tidak pernah shalat selama hidupnya.
Menggeneralisasi atau stigmatisasi bahwa semua teror dilakukan oleh orang Islam bahkan juga dilakukan oleh orang setingkat Donald Trump, Presiden Amerika Serikat (AS). Semasa kampanye, ia berjanji akan melarang orang Islam masuk ke negaranya. Dan, janji itu benar-benar ia jalankan setelah ia terpilih jadi presiden dengan melarang warga dari tujuh negara berpenduduk mayoritas Muslim masuk AS.
Menurut Trump, kebijakannya melarang Muslim masuk ke AS adalah untuk melindungi negaranya dari ancaman teroris. Dengan kata lain, setiap Muslim, terutama dari tujuh negara tadi, yang masuk ke AS, ia anggap berpotensi menjadi teroris.
Karena itu, Trump pun perlu mengganti istilah ‘ekstrimis radikal’ yang digunakan semasa Presiden Barack Obama dengan ‘teroris Islam’. ‘’Keamanan nasional dalam ancaman teroris Islam,’’ kicau Trump di akun Twitternya.
Stigmatisasi atau generalisasi demikian tentu tidak adil. Bahkan menyesatkan. Sebab, bagaimana bisa dikatakan semua Muslim sejagat raya, jumlahnya lebih dari 1 miliar jiwa dan tersebar di lima benua berpotensi jadi teroris?
Padahal kejahatan atau teror bisa dilakukan oleh siapa saja. Bisa oleh Muslim, Yahudi, Kristiani, Hindu, Budha dan sebagainya. Lalu mengapa bila tindakan teror dilakukan oleh mereka, tidak dikatakan teroris Yahudi, teroris Kristen, Teroris Budha dan seterusnya? Dasarnya tentu saja adalah Islamophobia tadi.
Yang juga memprihatinkan, di Indonesia yang justru dihuni oleh mayoritas Muslim, Islamophobia malah meningkat tajam pada akhir-akhir ini. Meskipun istilah itu tak disebut, namun sikap, tulisan, dan ucapan kelompok tertentu terhadap para pendemo yang menuntut agar orang yang diduga menistakan agama diadili jelas menunjukkan hal tersebut.
Puluhan, ratusan ribu, dan bahkan jutaan umat Islam peserta demo dianggap sebagai kelompok yang anti-Pancasila, anti-UUD 1945, anti-Bhinneka Tunggal Ika, anti-NKRI, dan seterusnya. Seolah-olah yang cinta NKRI dan setia kepada Pancasila dan UUD 1945 hanyalah mereka.
Bahkan calon pasangan gubernur dan wakil gubernur yang didukung oleh pendemo juga dituduh sebagai Islam garis keras. Dan, karena itu, tidak layak dipilih menjadi gubernur dan wakil gubernur.
Sebaliknya, para pendemo juga menuduh mereka yang membela orang yang dianggap penista agama sebagai anti-Islam dan umat Islam. Mereka dianggap mengartikan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan seterusnya dengan versinya sendiri.
Perpecahan yang demikian jelas telah menciptakan garis demarkasi yang sangat membahayakan buat keutuhan serta kesatuan bangsa dan negara. Apalagi negeri ini dihuni oleh masyarakat yang sangat majemuk alias plural. Baik suku, ras maupun agama dan golongan atau kelompok.
Para pendiri negeri ini, yang mayoritas adalah ulama dan tokoh Islam, paham betul terhadap realitas tersebut. Karena itu, mereka kemudian mengikat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini dengan menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar serta konstitusi negara.
Namun, harus diakui masalah suku, ras, agama, dan golongan adalah sangat sensitif. Apalagi yang terkait dengan agama. Karena di dalamnya menyangkut keyakinan atau akidah. Untuk itu, meminjam apa yang pernah disampaikan almarhum KH Hasyim Muzadi, urusan akidah atau keyakinan adalah urusan masing-masing pemeluk agama.
Orang atau pihak lain tidak boleh intervensi atau ikut campur. Sedangkan masalah muamalah harus didayagunakan dalam bentuk kerja sama untuk membangun negeri ini.
Masih menurut Kiai Hasyim, setiap pemeluk agama harus meyakini agamanyalah yang paling benar. Bagi Muslim, Islam adalah paling baik dan benar. Inna ad diina ‘indallahi al Islam. Begitu pula dengan pemeluk agama lain.
Namun, demi menciptakan kerukunan umat beragama, setiap pemeluk agama di sisi lain juga harus menghormati orang lain meyakini agamanyalah yang paling baik dan benar.
Karena itu, bila saja aparat hukum dan keamanan dari awal bersikap sensitif, responsif, transparan, dan bertindak adil terhadap kasus-kasus yang mengindikasikan penistaan terhadap suatu agama atau umat beragama, maka perpecahan di masyarakat akan bisa dihindari. Termasuk yang menyangkut kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sekarang ini.
Jangan sampai akibat dari ketidaksensitifan dan kelambanan aparat keamanan dan hukum menangani kasus, terutama penistaan terhadap agama dan umat beragama, berkembang menjadi penekanan-penekanan massa.
Apalagi berlanjut menjadi Islamophobia di negeri yang justeru berpenduduk mayoritas Muslim ini. Hanya dengan ini keharmonisan dan kerukunan umat beragama bisa dijaga.
*********
Republika.co.id