Rabu , 03 May 2017, 05:55 WIB
Red: Agus Yulianto
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Imam Shamsi Ali *)
Ada saja beberapa teman yang menghendaki saya untuk menyudutkan, atau tepatnya memburuk-burukkan Indonesia, karena hasil pilkada Jakarta dan berbagai hiruk pikuk yang terkait dengannya. Teman-teman saya itu menginginkan saya untuk mempropagandakan jika Indonesia saat ini berada di jurang radikalisme, yang boleh saja akan berakhir tragis seperti Irak dan Suriah.
Propaganda tentang Indonesia krisis radikalisme saya dengar di mana-mana. Persis ketika saya berada di Indonesia mendengar di mana-mana jika Amerika itu adalah musuh utama Islam. Saya berkali-kali mendengarkan hal seperti itu di berbagai diskusi, bahkan diskusi yang layaknya cendekia seperti di think tank, universitas, dan kelompok cendekia lainnya.
Sejak zaman presiden Bush Jr, presiden yang memulai “so called war on terror” dengan menyerang Afghanistan lalu Irak. Presiden yang memporak porandakan negara lain karena nafsu perangnya. Saya sejak itu juga selalu membela Amerika sebagai negara toleran. Gesekan-gesekan sosial yang terjadi itu adalah fenomena wajar dalam perjalanan sebuah bangsa.
Bahkan saya pernah dicurigai oleh sebagian teman-teman Muslim jika saya punya kepentingan membela Amerika. Karena di mana saja di dunia ini saya ditanya tentang Amerika, saya tetap membela jika Amerika adalah negara yang toleran. Sempurnahkah? Tentu tidak!
Lalu apa alasan saya membela Amerika sebagai negaa toleran? Alasannya sederhana. Karena Amerika masih menjadikan hukum sebagai “acuan kehidupan publik”.
Tapi apakah dengan itu tidak ada diskriminasi-diskriminasi terhadap minoritas? Jawabannya pasti banyak.
Lalu kenapa saya masih bersikukuh mempertahankan jika Amarika adalah negara toleran? Jawabannya karena kasus-kasus itu bukan representasi dari negara atau institusi kenegaraan. Pelakunya masih kemungkinan besar mendapatkan ganjarannya. Sebaliknya korban diskriminasi-diskriminasi itu masih merasakan pembelaan hukum.
Bahkan, di saat diskiriminasi itu sekalipun datang dari Gedung Putih, saya belum mengatakan Amerika itu anti Islam selama hukum masih berada di atas kepala presidennya. Itulah yang menjadikan beberapa kali executive order Donald Trump dibatalkan oleh Hakim Tinggi di Amerika. Artinya hukum masih hidup dan berfungsi seperti yang diharapkan.
Mungkin suatu ketika saya bisa berubah pandangan di saat hukum menjadi impoten alias tidak bisa tegak lagi. Kalau hukum sudah lumpuh maka baik penguasa maupun rakyat akan melakukan apa saja sesuai dorongan hawa nafsunya. Dan kalau ini terjadi di Amerika saya tidak akan ragu mendeklarasikannya sebagai negara yang diskriminatif dan anti Islam.
Toleransi Indonesia
Toleransi di Indonesia bukan barang baru. Indonesia dengan segala kekurangannya memiliki sejarah panjang toleransi. Memang diakui bahwa dalam perjalanannya sekali-sekali mengalami pasang surut, bahkan pada titik nadir yang terendah.
Tapi jangan lupa, toleransi itu tidak hanya diperlukan di saat mayoritas kuat. Beberapa kali juga justeru intoleransi terjadi di saat minoritas di atas angin. Ini bukan sesuatu yang memerlukan penjabaran karena memang itulah fakta sejarah panjang perjalanan bangsa ini, khususnya dalam dekade pertengahan orde baru.
Sebagaimana berulang-ulang disebutkan bahwa toleransi itu adalah “darah daging” bahkan “nafas” kehidupan Nusantara. Jika karena satu dan lain hal, terjadi sikap intoleran, maka itu bukan wajah Nusantara yang sejati. Itu adalah “deviasi” dari kehidupan Nusantara yang sesungguhnya.
Kenyataan bahwa hingga kini Indonesia masih utuh dalam kesatuan di tengah kebhinnekaan hampir dalam segala aspek kehidupan, menunjukkan bahwa tabiat kebangsaan Indonesia ini memang mendukung itu. Salah satu tabiat yang mendukung penuh kesatuan itu adalah karakter toleransi yang tinggi.
Sejak awal perjuangan memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajah asing, termasuk Belanda, Portugis, dan Jepang, bangsa Indonesia berjuang, walau dengan semangat keberagamaan dengan pekik “Allahu Akbar” misalnya, namun kita kenal bahwa perjuangan mereka bukan untuk kepentingan kelompok.
Bung Tomo dengan arek-arek Suroboyo, atau Panglima Sudirman yang sangat taat beribadah, diangkut dari hutan ke hutan, menaruh hidup bukan untuk umat Islam semata. Tapi demi kemerdekaan bangsa dan negera Indonesia dari sabang sampai marauke dengan segala ragam manusianya.
Dalam persiapan membentuk institusi negara, yang kita tahu bersama sebagai bentuk negara Indonesia ke depan dan selamanya, tokoh-tokoh Islam juga mengedepankan toleransi dengan mengakomodir realita bangsa Indonesia yang ragam. Bahwa pada akhirnya lahirlah Pancasila dan UUD 45 menunjukkan toleransi tinggi dari bangsa Indonesia itu. Dan sejak itu pula bangsa Indonesia hidup dalam NKRI secara damai dan rukun.
Dalam perjalanannya pilar berbangsa dan bernegara itu tetap menjadi pijakan kehidupan masyarakat. Kehidupan berbangsa didasarkan kepada kedua pijakan itu (Pancasila dan UUD 45), dan diterjemahkan tentunya berdasarkan kepada pemahaman masing-masing kelompok dalam rumah Indonesia tanpa mengganggu, apalagi mencabut pilar yang telah disepakati bersama itu.
Komitmen terhadap pilar kebangsaan dan bernegara itu, walau dipahami berdasarkan ragam kelompok yang ada, itu sesungguh dimungkinkan oleh karakter toleran itu. Maka, umat Islam bisa memahami sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan konsep tauhid agama Islam. Sebaliknya, pasal yang sama memungkinkan untuk dipahami berdasarkan konsep iman saudara-saudara sebangsa kita yang beragama lain.
Demikianlah perjalanan bangsa ini dari masa ke masa. Ada dinamika sosial yang terjadi. Hubungan horizontal kebangsaan mengalami pasang surut, kadang sangat harmoni dan kadang pula sebaliknya. Tidak jarang terjadi gesekan-gesekan, bahkan pada tingkatan yang cukup menegangkan.
Salah satu masa-masa yang menegangkan itu adalah ditahun 80-an di mana umat Islam mengalami represi yang cukup kuat. Secara ekonomi mereka dianak tirikan, secara sosial keagamaan juga mereka ditekan. Ada pelarangan berjilbab bagi wanita-wanita di sekolah umum.
Bahkan ceramah para ustaz juga dimonitor oleh rezim orde baru. Dan bukan rahasia umum lagi bahwa kekuatan di balik dari kebijakan represi itu adalah kelompok tertentu.
Barulah kemudian di awal tahun 90-an umat kembali mendapat angin segar. Dimulai dari berdirinya ICMI di bawah kepemimpinan Prof Dr BJ Habibie, mulai tumbuh dedaunan menyambut semi kebangkitan umat Islam. Istilah penghijauan pun menjadi trend saat itu.
Singkat kata, berbicara tentang toleransi di Indonesia bukan barang baru. Tapi darah perjalanan sejarah bangsa dan sekaligus nafas kehidupannya. Yang terjadi adalah kadang karena udara, atau karena faktor lainnya, darah itu menjadi kotor dan nafas menjadi terganggu.
Tapi apapun itu, Indonesia hidup karena karakternya yang toleran. Dan ini harus menjadi harga mati. Bahwa toleransi bagi Indonesia adalah kehidupan dan karenanya mutlak dipertahankan untuk menjaga hidup Indonesia itu sendiri.
Masalahnya kemudian, dan semoga saya salah, ketika toleransi dipahami sebagai landasan kepentingan tertentu. Ketika sebuah aksi atau reaksi terjadi dan menguntungkan kelompok kita, kita bangga dan di mana-mana berkoar dengan kebanggaan itu.
Tapi, di saat ada aksi atau reaksi itu dianggap kurang menguntungkan kelompok kita, maka bangsa dan negara ini tidak tanggung-tanggung dan enteng kita rusak, minimal merusak nama baiknya di dunia internasional.
Tidak jarang pula ketika kelompok kita melakukan tindakan anarkis dan separatis, walau itu jelas merusak tatanan NKRI, kita diam seribu bahasa. Dan di saat pemerintah Indonesia melakukan reaksi demi menjaga NKRI, tidak sungkan-sungkan pula kita promosikan Indonesia sebagai negara pelanggar HAM.
Di sinilah, saya, yang selama ini, berusaha membangun hubungan dan dialog dengan semua orang, bahkan dengan kelompok yang sebagian umat Islam dianggap musuh abadi, saya menjadi curiga. Jangan-jangan kata toleransi itu memang hanya dimaksudkan untuk kelompok tertentu? Wallahu a’lam!
* Presiden Nusantara Foundation.
*********
Republika.co.id