Senin , 05 June 2017, 10:03 WIB
Red: Nasih Nasrullah
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh KH A Muzaini Aziz Lc MA*
Membaca Alquran adalah satu dari sekian jenis ibadah yang diperintahkan atas setiap Muslim. Di dalam wahyu pertama yang diturunkan, dua kali perintah “membaca” terbilang: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Mencipta” (QS al-‘Alaq: 1); “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia” (QS al-‘Alaq: 3).
Rasulullah SAW juga pernah berpesan, ”Barangsiapa yang membaca satu huruf dari al-Qur`an maka baginya satu kebaikan, dan setiap kebaikan agak dilipatgandakan hingga sepuluh kebaikan. Aku tidak mengatakan aliflâmmîm itu satu huruf. Namun, alif satu huruf, lâm satu huruf dan mîm satu huruf (HR at-Tirmidzi).
Hadis di atas memberikan motivasi membaca Alquran dengan ganjaran berupa satu sampai 10 pahala dari setiap huruf yang dibacanya. Terlebih pada Ramadhan seperti ini, target khatam membaca Alquran pun dicanangkan: Sekali, dua kali, bahkan lebih.
Sikap kuantitatif seperti ini adalah benar. Namun, apakah proses interaksi kita dengan Alquran yang Allah SWT inginkan, terhenti di situ?
Sekadar membaca dari awal Surah al-Fatihah juz pertama, lanjut juz dua, demikian seterusnya, sampai Surah an-Naas, surah terakhir di juz 30? Lalu bagaimana sebenarnya membaca Alquran yang Allah SWT kehendaki dari seorang mukmin. Dengan kata lain, bagaimana membaca Alquran yang berkualitas?
Allah SWT telah menjelaskan kepada kita bagaimaa cara membaca kualitatif yang diinginkan-Nya, seperti termaktub dalam ayat berikut: “Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya (haqqa tilâwatih), mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang yang rugi (QS al-Baqarah: 121).
Merujuk pada ayat di atas, menurut Imam Ghazali di dalam Ihya Ulumid Din-nya, membaca firman-firman Allah dengan “sebagaimana mestinya” (haqqa tilâwatih) adalah dengan melibatkan lisan, akal, dan hati.
Tugas lisan adalah membaca huruf per huruf secara benar. Tugas akal adalah memahami makna dan kandungan. Sedangkan tugas hati adalah mengambil pelajaran dan nasihat untuk kemudian dipatuhi dan ditaati.
Haqqa tilâwatih versi Abdullah ibn Mas’ud RA adalah tunduk patuh terhadap segala apa yang dihalalkan dan diharamkan olehnya, dan membacanya sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah serta tidak menyimpangkannya, dan tidak mentakwilkannya secara tidak patut (Baca: Tafsir at-Thabary)
Sedangkan Ibnu Abbas RA memaknai haqqa tilâwatih yaitu mengiringinya dengan sebenar-benarnya iringan (mengikutinya dengan sebenar-benar ikutan).
Kata tilâwah yang berasal dari kata kerja talâ disamping memiliki arti membaca, juga berarti mengiringi, sebagaimana tersirat maknanya dalam Surah as-Syams ayat 2: Wal qamari idzâ talâhâ, yang artinya: Demi bulan apabila mengiringinya (baca: Tafsir Ibnu Katsir). Maka secara garis besar, haqqa tilâwatih adalah pelajari, pahami, dan patuhi Alquran.
Memahami isi kandungan Alquran juga ditekankan dalam firman-Nya yang lain, seperti: “Kitab (Alquran) yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran (QS Shaad: 29) dan ayat: “Maka tidakkah mereka menghayati Alquran, ataukah hati mereka telah terkunci. (QS Muhammad: 24).
Mengutip survei Prof Dr Muhammad Amin Aziz, terhadap jamaah di sejumlah masjid Jakarta dan Bogor terungkap, sebanyak 70 sampai 80 persen dari mereka tidak memahami ayat yang dibacanya, bahkan sekadar makna Surah al-Fatihah (The Power of Al-Fatihah: 2008). Sungguh fakta yang menyedihkan.
Dari fakta ini saja, kita bisa menyimpulkan mengapa shalat yang intergral dengan bacaan Alquran tidak efektif mencegah perbuatan keji dan mungkar (QS al-Ankabut: 45); karena apa yang dibaca (minimal ketika shalat) tidak dipahami makna dan pesan agung yang dikandungnya.
Secara implisit, Allah SWT menyinggung jenis shalat yang tidak berefek positif seperti ini seperti shalatnya orang yang mabuk:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mendekati shalat ketika kalian dalam keadaan mabuk, sampai kalian sadar apa yang kalian ucapkan (QS an-Nisaa`: 43)
Jika krisis moral bangsa Indonesia di setiap lapisan masyarakatnya disepakati sebagai sebuah fenomena yang merata, maka dapat ditarik garis kausatif dengan krisis pemahaman mayoritas Muslim Indonesia terhadap Kitab Sucinya. Bukankah, sebagaimana yang dikisahkan Aisyah RA, bahwa hulu dari teladan akhlak Rasulullah adalah Alquran(HR Muslim).
Patut diingat, Nabi Muhammad SAW saja, dalam kapasitas beliau sebagai rasul (penerima dan penyampai risalah Alquran), bahkan masih mau berupaya memahami dan meng-upgrade pemahamannya tentang Alquran. Hal ini terekam di dalam memori Ibnu Abbas RA ketika ia bercerita, bahwa Rasulullah adalah manusia paling dermawan.
Beliau dalam keadaan terdermawannya saat Ramadhan, ketika Jibril menemuinya. Beliau bertemu dengan Jibril setiap malam Ramadhan untuk mempelajari Alquran. Dan Rasulullah lebih dermawan dari angin yang berhembus. (HR al-Bukhari). Itulah salah satu aktivitas rutin Nabi Muhammad di Ramadhan yaitu mempelajari kandungan Alquran. Lalu, bagaimana dengan kita?
*Pengurus Lembaga Dakwah PBNU.