Sabtu , 22 July 2017, 11:53 WIB
Red: Muhammad Subarkah
Oleh: A Irmanputra Sidin*
RUU Pemilu akhirnya diputuskan untuk disetujui bersama Presiden dan DPR dengan menerapkan ambang batas pencalonan Presiden 20% -25% . Bahwa hal ini jelas jelas pelanggaran konstitusi Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 dan Pasal 6A ayat 2 UUD 1945 bahwa hak setiap parpol peserta pemilu mengusulkan pasangan capres. Kami saat itu terlibat langsung membidani pengajuan permohona pengujian UU pemilu di MK agar pemilu dilakukan secara serentak yang akhirya dikabulkan oleh MK.
Dalam Putusan MK disitu sebenarnya telah menyatakan bahwa ambang batas pencalonan Presiden bagi Partai Politik, tidak ada hubungannya dengan penguatan siatem Presidensial. Dalam penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan tahun 2009 bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika terpilih, calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari.
Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang, misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka panjang. Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan .
Dengan demikian, sebenarnya syarat ambang batas yang telah diputuskan DPR dan Presiden sebenarnya syarat untuk “menyandera” Presiden yang berkuasa yang justru melemahkan kekuasaan Presidensial. Ambang batas tersebut sesungguhnya ingin melanggengkan fenomena “kawin paksa Capres” , mengingat hak setiap parpol sebagai peserta pemilu untuk mengajukan pasangan calon Presiden telah dilanggar, sehingga pilihan pasangan calon akan semakin mempersempit menu prasmanan capres daris setiap parpol.
Bukan hanya disitu parpol yang memperoleh kursi di DPR pada pemilu 2014, tidak serta merta mendapatkan kursi lagi pada pemilu 2019, sehingga intensi penguatan presidensial, tidak linear terjadi alias bertentangan dengan dirinya sendiri (contra legem) , yang jutsru menyandera dan melemahkan kekuasaan Presiden itu sendiri yang sudah dipilih oleh rakyat. Oleh karenanya ambang batas ini adalah inkonstitusional
*A Irmanputra Sidin , Advokat , Ahli Hukum Tata Negara
*********
Republika.co.id