Inilah Logika Absurd Kenaikan Harga BBM

Inilah Logika Absurd Kenaikan Harga BBM

694
0
SHARE

Oleh Nisa Agustina, M.Pd (Parabon- Karangpawitan), Dosen di salah satu perguruan tinggi Garut

Garut News ( Jum’at, 12/12 – 2014 ).

Nisa Agustina. (Foto : Ist).
Nisa Agustina. (Foto : Ist).

Masyarakat Indonesia mendapat kado hadiah dari pemerintahan baru Jokowi-JK. Sayangnya hadiah ini bukanlah sebuah kabar gembira melainkan sebuah kabar memaksa masyarakat memutar otak mengatasinya.

Kado tersebut kenaikan harga BBM. Ya, Pemerintahan Jokowi – JK berbulat tekad menaikkan harga BBM, pada kisaran Rp 8.500/liter.

Alasan utamanya mengurangi beban subsidi dikatakan sangat besar.

Pelbagai alasan dari logika pemerintah Jokowi-JK —sama dengan Pemerintah sebelumnya—dikemukakan menjustifikasi kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi.

Alasan itu antara lain: pencabutan subsidi BBM diperlukan agar ruang fiskal Pemerintah menjalankan programnya semakin besar.

Subsidi ini dianggap salah sasaran lantaran sebagian besar hanya dinikmati kelas menengah atas.

Dana tersebut lebih produktif jika digunakan program-program bisa meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan mendorong pertumbuhan ekonomi seperti membangun infrastruktur transportasi, meningkatkan anggaran pendidikan serta kesehatan, dan sebagainya.

Padahal apabila kita cermati, logika dikemukakan sebagai alasan menaikkan harga BBM tak lain logika absurd dan tak logis (tipu-tipuan belaka) :

  1. Benarkah sumber penerimaan negara sangat terbatas membiayai program-program lebih produktif?

Sumber-sumber penerimaan negara bisa digali sesungguhnya amat melimpah. Sebagai contoh, jika pengelolaan sumberdaya alam negeri ini dikelola BUMN secara maksimal, tanpa kudu menarik pajak, nilai pendapatannya sangat besar.

Produksi batubara, misalnya, mencapai 421 juta ton tahun 2013. Apabila harga produksi rata-rata per ton US$ 20 dan harga pasar 2014 US$ 74 per ton maka potensi pendapatannya mencapai Rp250 triliun.

Contoh lainnya tembaga. Pada 2012, produksinya mencapai 2.4 juta ton. Biaya produksinya US$ 1,24 per pound, dan harga jualnya US$3.6 per pound (Laporan Keuangan PT Freeport McMoran, 2013).

Dengan demikian, potensi pendapatannya Rp124 triliun. Dari dua komoditas ini saja potensi pendapatan mencapai Rp 374 triliun.

Atawa lebih dari cukup menutupi belanja subsidi BBM nilainya mencapai Rp291 triliun.

  1. Benarkah beban APBN menanggung subsidi sangat berat?

Perekonomian terus tumbuh membuat konsumsi BBM terus meningkat, bahkan selalu menjebol kuota subdisi ditargetkan Pemerintah.

Pertanyaanya: Mengapa hanya subsidi selalu dijadikan ‘kambing hitam’? Bukankah banyak alokasi anggaran sebenarnya lebih tak efektik terhadap perekonomian?

Salah satunyapengelu, aran APBN membayar bunga utang dan cicilannya mencapai Rp221 triliun, terdiri pembayaran bunga utang sebesar Rp154 triliun, dan cicilan pokok sebesar Rp66,9 triliun.

Utang pemerintah saat ini mencapai Rp2.500 triliun per Juni 2014, atawa lebih besar dari pendapatan APBN 2015 yang besarnya Rp1.793,6 triliun.

Sebagian dari utang itu, termasuk pembayaran bunga, merupakan obligasi rekapitalisasi, diterbitkan ‘mensubsidi’ bank-bank terimbas dampak krisis 1997 silam, kini dipegang bank atau yang jatuh di tangan investor.

  1. Benarkah kenaikan harga BBM meningkatkan kesejahteraan rakyat?

Pengalaman empirik menunjukkan, kenaikan BBM mempunyai efek domino bakal menggerek inflasi, berupa kenaikan harga-harga barang.

Akibatnya, daya beli masyarakat melorot. Jumlah penduduk miskin semakin membengkak. Penduduk sebelumnya tak dikategorikan miskin menjadi jatuh miskin.

Sebab, transportasi dan belanja BBM menjadi kebutuhan pokok masyarakat. Untuk penduduk di pedesaan, misalnya, mengutip survei BPS 2014, belanja BBM menempati urutan kedua setelah perumahan untuk komoditas non makanan.

  1. Benarkah subsidi BBM tak tepat sasaran lantaran lebih banyak dinikmati kalangan menengah atas?

Survei membuktikan, penduduk menengah bawah di negeri ini jauh lebih banyak dibandingkan penduduk menengah ke atas.

Kendaraan bermotor pada 2013 saja mencapai 84 juta bukan lagi barang eksklusif, namun menjadi kebutuhan pokok.

Belum lagi ditambah dengan penduduk mengakses transportasi juga menggunakan BBM. Karena itu, penduduk menengah bawahlah paling banyak terkena dampak kenaikan BBM ini.

Jelaslah kebijakan kenaikan harga BBM tersebut, hanya menambah beban berat masyarakat. Kebijakan ini diterapkan sebab ada desakan sangat kuat dari investor asing agar mereka bisa menguasai migas Indonesia dari hulu sampai hilir.

Dan hal itu,  implikasi penerapan system kapitalisme berupa liberalisasi diterapkan Negara ini.

Problem ekonomi dihadapi pemerintah sekarang sesungguhnya amat mudah, jika negara diatur berdasar syari’ah Islam.

Dalam Islam, SDA jumlahnya melimpah milik rakyat, tak boleh diserahkan pada swasta apalagi asing.

Sehingga sepatutnya negara mengelola semua itu dengan baik, dan hasilnya digunakan kepentingan rakyat, amien.

*******

NO COMMENTS

LEAVE A REPLY