Sabtu , 29 July 2017, 07:00 WIB
Red: Karta Raharja Ucu
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab
Konflik Israel-Lebanon pada 2006 lalu, merupakan satu di antara serangkaian perang yang digelar tentara Zionis. terhadap negara-negara Timur Tengah. Israel yang mendapat dukungan Amerika Serikat mempergunakan senjata-sernjata pemusnah massal yang dinyatakan terlarang oleh konvensi Jenewa.
Amerika Serikat yang kini makin terus terang membela Israel, menolak gencatan senjata dan menghendaki penyerbuan sekutunya itu ke Lebanon tanpa menghiraukan berapapun korban jiwa. Pakar hukum dari sebuah universitas ternama di AS waktu itu tidak menyebutkan serangan Israel itu sebagai kejahatan perang.
Itulah sikap negara imperialis yang mengklaim kampiun hak azasi manusia (HAM). HAM memang milik mereka, bukan milik kita. Sementara PBB tidak berdaya melihat kekejaman di luar perikemanusiaan itu. Kekejaman Israel pun kini kian menjadi-jadi terhadap rakyat Palestina. Dalam dua pekan terakhir, mereka menutup Masjid Al-Aqsha sehingga rakyat Palestina tidak bisa melaksanakan shalat.
Bung Karno pernah menyatakan PBB nyata-nyata menguntungkan Israel dan merugikan negara-negara Arab. Pernyataan itu dikemukakan saat Indonesia keluar dari organisasi dunia tersebut.
Indonesia sebenarnya sempat menjadi “rumah” bagi warga Yahudi, sebelum Israel merampas tanah warga Palestina dan terbentuk seperti sekarang. Sejak masa kolonial Belanda, warga Yahudi banyak berdiam di Indonesia, khususnya Jakarta. Sejak itu, Indonesia dalam cengkraman umat Yahudi.
Pada abad ke-19 dan 20 serta menjelang Belanda hengkang dari Indonesia, ada sejumlah Yahudi yang membuka toko-toko di Noordwijk (kini Jl Juanda) dan Risjwijk (Jl Veteran) — dua kawasan elite di Batavia kala itu — seperti Olislaeger, Goldenberg, Jacobson van den Berg, Ezekiel & Sons dan Goodwordh Company. Mereka hanya sejumlah kecil dari pengusaha Yahudi yang pernah meraih sukses. Mereka adalah pedagang-pedagang tangguh yang menjual berlian, emas dan intan, perak, jam tangan, kaca mata dan berbagai komoditas lainnya.
Sejumlah manula yang sempat saya wawancara menyatakan, pada 1930-an dan 1940-an jumlah warga Yahudi di Jakarta cukup banyak. Jumlahnya bisa mencapai ratusan orang.
Karena mereka pandai berbahasa Arab, mereka sering dikira keturunan Arab. Abdullah Alatas, salah satu saksi sejarah mengatakan, keturunan Yahudi di Indonesia kala itu banyak yang datang dari negara Arab. Maklum kala itu negara Israel belum terbentuk. Seperti keluarga Musri dan Meyer yang datang dari Irak.
Ratusan Umat Yahudi Tinggal di Indonesia
Di masa kolonial, warga Yahudi ada yang mendapat posisi tinggi di pemerintahan. Termasuk gubernur jenderal AWL Tjandra van Starkemborgh Stachouwer (1936-1942). Sementar Ali Shatrie menyatakan kaum Yahudi di Indonesia memiliki persatuan yang kuat. Setiap Sabat (hari suci umat Yahudi), mereka berkumpul bersama di Mangga Besar, yang kala itu merupakan tempat pertemuannya.
Menurut Majalah Sabili, dulu Surabaya merupakan kota yang menjadi basis komunitas Yahudi, lengkap dengan sinagognya yang hingga kini masih berdiri. Sedangkan menurut Ali Shatrie, mereka umumnya memakai paspor Belanda dan mengaku warga negara kincir angin. Sedangkan Abdullah Alatas mengalami saat-saat hari Sabat di mana warga Yahudi sambil bernyanyi membaca kitab Talmut dan Zabur, dua kitab suci mereka.
Pada 1957, ketika hubungan antara RI-Belanda putus akibat kasus Irian Barat (Papua), tidak diketahui apakah seluruh warga Yahudi meninggalkan Indonesia. Kabarnya, mereka masih terdapat di Indonesia meski jumlahnya tidak lagi seperti dulu.
Yang pasti dalam catatan sejarah Yahudi dan jaringan gerakannya, mereka sudah lama menancapkan kukunya di Indonesia. Bahkan gerakan mereka disinyalir telah mempengaruhi sebagian tokoh pendiri negeri ini. Sebuah upaya menaklukkan bangsa Muslim terbesar di dunia (Sabili, 9/2-2006).
Sukarno Larang Gerakan Freemansonry
Dalam buku Jejak Freemason & Zionis di Indonesia disebutkan gedung Bappenas di seberang Taman Surapati dulunya merupakan tempat para anggota Freemason melakukan peribadatan dan pertemuan. Gedung Bappenas di kawasan elit Menteng, dulunya bernama gedung Adhuc Stat dengan logo Freemasonry di kiri kanan atas gedungnya, terpampang jelas ketika itu.
Anggota Freemason menyebutnya sebagai loji atau rumah setan. Disebut rumah setan karena dalam peribadatannya anggota gerakan ini memanggil arwah-arwah atau jin dan setan, menurut data-data yang dikumpulkan penulisnya Herry Nurdi.
Freemasonry atau Vrijmetselarij dalam bahasa Belanda masuk ke Indonesia dengan beragam cara. Terutama lewat lembaga masyarakat dan pendidikan. Pada mulanya gerakan itu menggunakan kedok persaudaraan kemanusiaan, tidak membedakan agama dan ras, warna kulit dan gender, apalagi tingkat sosial di masyarakat.
Dalam buku tersebut disebutkan, meski pada tahun 1961, dengan alasan tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, Presiden Sukarno melakukan pelarangan terhadap gerakan Freemasonry di Indonesia. Namun, pengaruh Zionis tidak pernah surut. Hubungan gelap ‘teman tapi mesra’ antara tokoh-tokoh bangsa dengan Israel masih terus berlangsung. Indonesia pun belum sepenuhnya lepas dari cengkraman umat Yahudi.
*********
Republika.co.id